Rabu, 19 Desember 2012

Dandan Pakai Batik, Semenit Jadi

Siapa bilang pakai batik ribet dan makan waktu? Dengan cara tepat, memakai kain batik bisa dilakukan dalam waktu satu menit. Enny Sukamto membuktikannya dalam talkshow bertajuk "Woman and Drapery Batik" di Living World Alam Sutera, Serpong.

Mantan model yang kini berusia 57 tahun itu memeragakan cara mengenakan kain baik sebagai bawahan tanpa perlu menjahitnya menjadi rok ataupun celana. "Yang pasti, setiap batik memiliki corak tersendiri sehingga cara pemakaiannya pun berbeda-beda," kata Enny, yang ditemani oleh Anya Dwinov sebagai pemandu acara. "Yang penting jangan dipotong atau dipotong miring biar badannya enggak kelihatan pendek," tambahnya.

Untuk menyiasati bentuk tubuh yang kurang ramping, penggunaan batik dapat dilakukan dengan memanfaatkan tali atau pita untuk menyambung ujung-ujung kain. "Supaya bagian perutnya tidak kelihatan besar, bagian depan dilipat ke dalam dan lurus ke bawah," kata Enny, seraya menyarankan untuk tidak memakai peniti karena akan merusak kain batik.

Dalam satu kain batik, biasanya pola yang digunakan sama. Ada juga yang memiliki tumpal atau corak yang berbeda dari pola seragam pada kain batik tersebut. Tumpal ini bisa ditaruh di depan atau di samping dengan hiasan ploi. Ujung kainnya bisa diikat dengan karet, lalu ikatan ini dibentuk menyerupai kembang mawar.

"Begini saja enggak bakal melorot. Dandan semenit selesai," katanya.

Kain batik sebagai busana bawahan ini dapat dipasangkan dengan beragam baju atasan. Enny menyarankan agar perempuan tidak ragu mengenakan blus, t-shirt, atau tank top, untuk bagian atas. Bagi wanita berbadan besar, sebaiknya menggunakan atasan yang menutup perut dan pinggang. Jika kain batik yang digunakan kain panjang, Anda dapat pula menjadikannya gaun terusan. Dengan kain sepanjang 3 meter, misalnya, Anda dapat membuat tiga hingga lima model gaun terusan yang cantik tanpa memotong dan menjahitnya.

Jumat, 16 November 2012

Batik Cahyo, Sangat Halus dan Genit

ulukan sebagai Kota Batik untuk Pekalongan memang segera terasa ketika memasuki kota ini. Hampir di setiap jalan ada rumah atau toko yang memajang papan nama pemilik rumah batik. Banyak dari rumah batik tersebut yang hanya berupa bangunan sederhana dengan pintu dan jendela yang sudah usang. Namun siapa yang menyangka, di dalam rumah-rumah tersebut mengalir helai demi helai kain batik yang bernilai budaya yang tinggi.

Di salah satu rumah yang rimbun ditumbuhi ilalang, di Desa Setono, Pekalongan, juga tengah berlangsung kegiatan membatik. Sekitar 50 pembatik terlibat dalam pembuatan batik, dari proses membuat pola, melekatkan malam dengan canting ke pola batik di kain, hingga menghilangkan lapisan malam tersebut. Mereka inilah yang menghasilkan kain-kain batik dengan merek Cahyo.

Rumah Batik Cahyo, merupakan salah satu produsen batik paling populer di kota ini. Pemiliknya, Nur Cahyo, mewarisi bisnis batik ini dari ayahnya. Ia tidak sekadar menjual atau mendistribusikan batik, tetapi juga menguasai seluk-beluk pembuatan batik.

Pria 45 tahun ini sudah akrab dengan kehidupan membatik sejak lulus SMP. Kegiatan pembatik memindahkan pola dari kertas ke kain, ngiseni, ngelir, sudah menjadi pemandangannya sehari-hari. Namun, waktu itu membatik bagi Cahyo hanya sebatas iseng. Boleh dibilang, ia tak pernah memelajari pembuatan batik secara khusus. "Kursus" membatik itu diserapnya hanya dengan mengamati kegiatan ayahnya selama bertahun-tahun.

"Memang, ayah kadang-kadang meminta saya membantunya. Tetapi saya tidak pernah menyadari bahwa itu cara ayah saya mengajarkan batik pada anaknya," tutur Cahyo, saat menemani wartawan yang berkunjung ke rumah batiknya di Pekalongan.

Setelah sang ayah tiada, Cahyo baru berkonsentrasi penuh untuk mengelola bisnis batik pada tahun 1995. Sambil meneruskan bisnis, ia terus mengembangkan kemampuannya membatik, misalnya menciptakan warna yang dihasilkan dari bahan-bahan alami. Meskipun pewarna alami ini sudah tersedia di pasaran dalam bentuk bubuk, tetapi Cahyo lebih banyak menyeduh sendiri cacahan kayu dari pohon secang, mahoni, tingi, tegeran, jalawe, hingga jambal.

Ada berbagai macam jenis batik dari segi pembuatannya, seperti batik cap, batik tulis, atau batik printing. Dalam proses pewarnaannya, ada yang memakai bahan pewarna alami, ada pula yang menggunakan pewarna kimia. Cahyo sendiri memproduksi batik jenis tulis dan cap, dan banyak memodifikasi teknik pembuatannya. Misalnya batik tulis, tetapi proses pewarnaannya menggunakan bahan kimia.

Batik buatannya, seperti umumnya batik Pekalongan, banyak mendapat pengaruh China dan Arab. Motif khasnya flora dan fauna, dengan kombinasi motif geometris yang tersusun dari garis-garis kotak atau titik yang putus-putus, dan warna yang cenderung cerah.

Hasil karya Cahyo antara lain bisa Anda temukan di koleksi Batik Adiningrat dan Batik Margaria di Malioboro, Yogyakarta. Namun Anda bisa saja menemukan hasil karya Cahyo di Batik Semar, Batik Keris, dan Batik Danarhadi, karena ia juga menerima pesanan dari merek tersebut. Kalau Anda sedang mengunjungi pameran kerajinan seperti Inacraft, Batik Cahyo juga mudah ditemukan. Bahkan melalui berbagai pameran ini Cahyo "ditemukan" oleh desainer Edward Hutabarat, yang kemudian bekerjasama untuk memproduksi batik tulis berkualitas tinggi.

"Batiknya mas Cahyo itu boleh dibilang batik terhalus di kota ini. Bukan cuma dari batikannya, tetapi juga dari ritme, gelombang batiknya, yang sangat genit, sangat wanita," tutur Edward, yang berkolaborasi dengan PT Kao Indonesia untuk mengampanyekan "Cintaku Pada Batik Takkan Pernah Pudar".

Kain batik yang disebut sangat halus bisa dilihat dari motif tanahan-nya. Tanahan adalah latar belakang kain yang tak cuma berisi warna, tetapi juga guratan-guratan kecil yang menutupi seluruh bidang kain. Jelas dibutuhkan kesabaran dan ketelitian ekstra dalam mengisi pola tanahan. Belum lagi membuat motif cecekan, atau titik putus-putus pada tepian gambar.

"Kalau dari mas Edo, saya banyak belajar mengenai lay out, atau penataan letak gambar-gambar batik," ungkap Cahyo. Selain itu juga pemilihan warna pada obyek bunga-bungaan.

Batik Cahyo banyak digemari pelanggan dari Jepang. Mereka ini mengetahui produk batiknya dari pameran, dari mulut ke mulut, atau dari informasi pembatik lain. "Kalau sedang pameran, lalu ada tamu yang ingin mencari batik dengan ciri khas tertentu, pembatik biasanya akan memberitahu, 'Oh, itu lho, cari batiknya Cahyo saja!'" katanya.

Berkat batik dan relasinya yang cukup luas, Cahyo juga sering diundang mengikuti pameran di luar negeri. Di Jepang, setidaknya ia sudah mengadakan pameran empat kali. Dari pameran semacam ini Cahyo banyak memperoleh buyer, baik yang untuk dipakai sendiri maupun dijual lagi.

Ia senang jika calon pembeli batiknya ingin tahu proses yang jelimet di balik pembuatan batik tersebut. Pelanggan tetapnya di Jepang, tak ragu berkunjung ke tempat workshop-nya untuk menyaksikan pembuatan batiknya. Mereka ingin membuktikan sendiri bahwa batik tulis tersebut benar-benar dikerjakan melalui ketrampilan tangan pembuatnya. Mereka tak hanya melihat motifnya, tetapi juga meraba dan merasakan teksturnya.

"Mungkin karena orang Jepang lebih menghargai seni, ya. Jadi mereka lebih ingin tahu proses di baliknya," seru Cahyo. "Mereka juga lebih suka dengan proses dan penggunaan bahan yang natural."

Bagi Cahyo, menjelaskan proses pembuatan batik pada konsumen ini juga merupakan salah satu tahap yang penting. Pengguna batik harus tahu lika-liku dan segenap kesulitan yang dihadapi pembatik, agar lebih mampu menghargai buah tangan mereka. Meskipun batik tersebut menggunakan kain dari sutera, batikan, motif, dan lay out-nya menawan, bila pebisnis batik tidak mampu membuat pelanggannya mengerti nilai-nilai di balik pembuatan batik tersebut, segalanya menjadi percuma.

Jumat, 19 Oktober 2012

Upah Pembatik Tak Setara Hasil Karyanya

Maulvia (20) tersenyum cerah. Hari itu adalah hari gajiannya. Setelah mengantongi Rp 105.000 sebagai upahnya membatik selama enam hari, perempuan yang akrab disapa Mia ini juga menerima tas bingkisan dari PT Kao Indonesia. Isi tas itu macam-macam, dari sabun, shampo, pembalut, hingga cairan pencuci batik.

Mia adalah salah satu pembatik di Rumah Batik Cahyo di Desa Setono, Pekalongan, yang antara lain membuat batik pesanan dari Edward Hutabarat. Desainer ini banyak melakukan perjalanan eksplorasi ke kota-kota batik atas biaya PT Kao Indonesia, sebagai bagian dari kampanye "Cintaku Pada Batik Takkan Pernah Pudar".

Tak banyak perempuan muda yang masih bersedia menggeluti dunia batik seperti Mia. Mereka bukannya sama sekali tak paham tentang batik, karena kesibukan membatik sudah biasa terlihat di tiap-tiap rumah tangga. Namun membatik memang bukan pekerjaan yang mudah. Butuh ketelitian, kesabaran, dan ketahanan fisik untuk menciptakan sehelai kain batik tulis. Bayangkan, mereka harus duduk selama 8-12 jam sehari, tanpa bersandar.

Selain itu, upah membatik juga kurang begitu menggembirakan. Mia, misalnya, setelah empat tahun membatik, upahnya Rp 17.500 per hari. Jumlah ini bisa naik seiring dengan meningkatnya kemampuannya membatik. Sedangkan di Rumah Batik Liem Ping Wie di kawasan Kedungwuni menerima antara Rp 15.000, Rp 20.000, hingga Rp 25.000 per hari, tergantung kemampuannya.

"Dulu di kampung (sebelum bergabung di Batik Cahyo, RED), upah saya Rp 11.000," ujar Mia, yang saat ini bekerja mulai pukul 04.00 - 16.00.

Pembatik umumnya masih menerima tunjangan berupa uang makan dan THR. "Uang makannya Rp 2.500 per hari, tapi saya kumpulkan dulu, dan baru dibagikan bersamaan dengan pembagian THR. Soalnya mereka itu tidak bisa menabung," ujar Liem Poo Hien, pengelola Batik Liem Ping Wie yang mempekerjakan sekitar 30 pembatik. Agar pembatik disiplin, Hien menerapkan aturan lain. "Mereka masuk mulai pukul 08.00 atau 08.30. Di atas jam itu, uang makan tidak diberikan."

Sulitnya regenerasi
Oleh karena itu, meskipun batik kini terangkat lagi pamornya, daya tarik sebagai pembatik -dalam hal ini batik tulis- tak otomatis terangkat. Apalagi, kota Pekalongan kini sudah makin berkembang. Mini market-mini market bermunculan di segala penjuru jalan, menawarkan lapangan pekerjaan baru yang lebih menjanjikan. Nur Cahyo, pemilik Batik Cahyo, memahami betul hal ini.

"Orang Pekalongan cinta batik, tapi juga butuh nafkah. Bagi mereka, kalau tidak bertahan jadi pembatik, lebih baik kerja di mini market," katanya.


Situasi ini bertambah sulit karena perempuan umumnya juga terjebak dalam siklus hidup yang sama. Begitu mereka menikah, lalu hamil, banyak di antara mereka yang memutuskan berhenti membatik. "Akhirnya harus regenerasi lagi, cari pembatik yang lain, entah teman-teman atau saudara-saudaranya," papar Cahyo.

Demi mempertahankan kelestarian batik dan kesejahteraan para pembatiknya, bapak dua anak ini berusaha menjaga hubungan yang baik dengan para pembatiknya. Ia sadar, batik adalah suatu kerja tim, sehingga tidak ada satu pihak yang lebih berperan daripada yang lain. "Batik itu kayak main layangan, harus tarik-ulur. Sifatnya ngemong. Kita butuh satu sama lain. Jadi saat memperlakukan pembatik, saya tidak bisa terlalu keras, juga tidak terlalu lunak."

Dusun Pegandon, Desa Pegandon Kidul, Karang Dadap, Pekalongan timur, yang dulu menghasilkan banyak pembatik andal, kini juga kesulitan meregenerasi. Dusun ini hanya menyisakan pembatik yang kini sudah mulai renta. Mereka bekerja sendiri-sendiri atau berkelompok, di rumah-rumah yang sempit berlantai tanah dan umumnya tanpa pembatas ruang. Penerangan pun hanya mengandalkan cahaya matahari yang masuk melalui celah dinding atau jendela.



Para perempuan ini umumnya tak tahu pasti berapa usianya. Saripi, Jasnoah, Wasni, dan Wasmi, misalnya, rata-rata merasa umurnya sudah 70-an tahun. Untuk membatik, mereka mendapat modal berupa kain mori atau cairan malam dari pengepul seperti Zakiah (45). Pengepul adalah orang yang akan mengumpulkan kain-kain batik yang sudah jadi, dan menjualnya ke buyer. Namun, untuk proses melorod atau mewarnai, pembatik menyerahkannya ke pengepul dengan dikenai biaya Rp 60.000 - Rp 70.000, tergantung warnanya.

Mereka mengaku, upah mereka hanya sekitar Rp 7.000 hingga Rp 10.000 per hari. Namun ketika kami menanyakan siapa yang memberi mereka upah, tak seorang pun mampu menjawab. Cahyo menduga, angka tersebut hanya perkiraan para pembatik dari penghasilan yang mereka dapatkan dari pengepul. Jadi, jika sehelai kain batik halus sudah jadi, pengepul membelinya dengan harga sekitar Rp 300.000 (kain ini lalu dijual Zakiah seharga Rp 600.000 - Rp 1 juta).

Para pembatik ini memang hanya paham soal membatik. Mereka tidak tahu bagaimana jalur distribusi atau bisnis batik itu sendiri. Repotnya, karena sudah terikat pada pengepul, mereka juga tak bisa menjual batik langsung kepada orang yang berminat.

Karena diri sendiri dan keluarga harus dinafkahi, sementara sehelai kain baru jadi setelah sekitar tiga bulan, beberapa pembatik berusaha mencari "side job". Jasnoah, misalnya, pagi hari berjualan jajanan untuk anak-anak yang tak seberapa jumlahnya. Sore, ia baru membatik. Barangkali ini bisa disebut sisi positifnya, dimana para pembatik di sini memang tidak terikat waktu dalam bekerja.

Dengan berbagai kesulitan yang dialami pembatik tersebut, sudah sepantasnya profesi pembatik ini lebih kita hargai. Mereka, termasuk Mia yang tergolong paling muda, tidak pernah menyesal menjadi pembatik. Perempuan lulusan SMP ini bertekat untuk terus membatik. "Saya tidak menyesal meninggalkan sekolah, karena ini sudah keputusan saya sendiri. Saya ingin bisa terus berkarya, bisa meneruskan batik Pekalongan," katanya lirih.

Rabu, 19 September 2012

Edward Hutabarat: Batik Bukan Sembarang Kain!

Tahun 2009 lalu batik Indonesia diakui oleh UNESCO sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia. Hal itu kemudian ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Hari Batik Nasional. Dalam acara peluncuran Attack Batik Cleaner dari PT KAO, yang juga membiayai perjalanannya ke kota-kota batik, desainer yang sudah bergelut dengan batik sejak lama, Edward Hutabarat bercerita mengenai batik kepada Kompas Female.

Menurut Edward, sejak dikukuhkan oleh PBB sebagai warisan tak benda dari Indonesia, batik mengalami kemajuan yang pesat dan baik. Hingga kini, batik sudah menjadi bagian sehari-hari. Bisa terlihat, sudah muncul sentra-sentra batik di kota besar, diharuskannya pemakaian batik di hari tertentu oleh instansi tertentu, dan bahkan menjadi aksesori sehari-hari. Menurut Edward, dengan sudah makin terbiasanya masyarakat akan batik, sekarang saatnya batik dipertahankan dan dilihat sebagai sesuatu yang berbeda. Batik patut dipertahankan dan digunakan untuk mengangkat sesuatu yang lainnya, yakni bagian backstage-nya.

"Batik tidak menghidupi saya dari segi bisnis. Tetapi dari segi kenikmatan hidup, batik memberikan saya spirit. Untuk saya, uang tak akan pernah cukup. Jadi, kalau Anda ke kota batik, jangan berpikir bisnis dulu, kalau seperti itu, berarti juragan. Tolong dicatat, saya bukan juragan batik yang mengaku pembatik. Saya hanya bagian dari batik," papar Edward usai konferensi pers yang berlangsung di Museum Nasional, Jumat.

"Batik itu harus dilihat dari sejarahnya. Jangan hanya mengenal fisik atau jadinya saja. Karena hanya bisa mengetahui apa jenis dan motifnya saja tidak cukup. Tidak cukup untuk menghargai karya seni hanya dengan melihat hasil jadinya. Anda harus tahu cara pembuatannya, harus tahu backstage-nya. Harus mengerti mengapa motifnya seperti itu," ujar Edward berapi-api.

"Kini, batik sudah makin dikenal, sudah makin menjadi bagian sehari-hari. Sudah bukan lagi kita cuma tahu batik sebagai bagian warisan negara. Tetapi kita harus mulai membangun orang-orang yang ada di balik layarnya. Apalagi para perajin batik di kota-kota batik," jelas pria yang sering disapa Edo ini.

Menurutnya, seharusnya kita sudah mulai mengenal batik hingga ke akarnya. Untuk memahami arti dari motif-motif yang tergambar dalam batik itu sendiri. Misal, batik Madura yang warna-warni, yang memiliki gambar sapi, karena ada budaya karapan sapinya di sana, ada pula matahari terbenam di Madura yang cantik, kulinernya, dan lain-lainnya. Atau Batik Cirebonan yang inspirasi si pembatik datang dari kulturnya, dari Tari Topeng yang penuh mistis dan eksotis, dari wayang kulitnya, wayang golek, atau nikmat kulinernya, seperti nasi Jamblang, cantik alamnya, kuatnya wanita pekerja di daerah sana, dan lain sebagainya.

"Batik itu bukan dilukis, tetapi dibuat dengan hati. Batik itu pada zaman dulu, saking menggugahnya, akhirnya masuk ke keraton, kemudian dikenakan dalam acara-acara bermakna, seperti pernikahan, nujuhbulanan, kelahiran, dan sebagainya, hal-hal semacam ini yang penting untuk dimengerti. Tak ada maknanya jika Anda hanya memiliki tetapi tidak mengerti isinya," ujar Edo.

"Batik bukan cuma sembarang kain! Jadi, saat batik itu diberi harga mahal, jangan marah. Cobalah untuk mengerti kulturnya, latar belakangnya, cara pembuatannya. Lalu mengerti mengapa kain batik itu punya makna lebih dan menjadi mahal. Untuk mengerti kultur, kita pun harus smart, kita harus membuka mata, datanglah ke kota-kota itu, berbicaralah dengan masyarakat sana, dan ketahui negerimu sendiri. Ini baru batik, ya, belum lagi kain tenunan Indonesia yang sangat banyak," pungkas pria pemilik label Part One ini.

Supaya batik tidak hilang, Edo menekankan pentingnya untuk menaruh perhatian pada kota-kota penghasil batik, "Supaya batik tidak pudar, kita harus aware. Kita harus mulai mempromosikan kota-kota batik. Dari kulinernya, agamanya, kulturnya, budayanya, kecantikan alamnya, dan lain-lainnya yang merupakan inspirasi dari motif-motif batik tersebut. Dengan begini, kita akan menunjang kehidupan ekonomi mereka, turisme mereka, dan membantu batik tetap hidup lebih lama."

Selasa, 14 Agustus 2012

Mengapa Batik Bisa Begitu Mahal?

Ditetapkannya batik sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO, dan peringatannya setiap tanggal 2 Oktober, seharusnya membuat kita semakin memahami apa yang disebut sebagai batik. Yang dijadikan warisan budaya tersebut adalah proses membatiknya, bukan kain dengan motif batik seperti yang kerap dipersepsikan orang kebanyakan. Proses membatik akan menghasilkan batik dengan jenis tulis, yang harganya berkali-kali lipat dibandingkan dengan batik yang melalui proses cap atau printing. Mengapa pula harga selembar kain batik tulis bisa mencapai jutaan hingga puluhan juta rupiah?

Bayangkan saja, sehelai kain ukuran 2,5 m yang menampilkan suatu karya batik, ternyata membutuhkan waktu pembuatan hingga tiga bulan. Proses pembuatan yang begitu lama jelas menuntut kesabaran, ketelitian, dan cita rasa yang tinggi. Bagaimanapun, nilai batik akan meningkat bila pembatik mampu menghasilkan batik dengan tingkat kesulitan yang tinggi.

"Nilai jualnya tergantung dari keunikan kainnya, batikan, dan warnanya. Kalau desainnya langka, dan tak bisa ditiru, itu akan menentukan harganya," jelas Nur Cahyo, pemilik Rumah Batik Cahyo, saat menemani wartawan menyaksikan berbagai tahapan pembuatan batik di tempat workshop-nya di Desa Setono, Pekalongan.

Proses pembuatan batik juga melibatkan banyak orang dengan keahliannya masing-masing. Dari tahap awal, yaitu pembuat pola yang membuat desain batik (molani), pembatik -yang memindahkan pola ke atas kain, dan melukisnya dengan menggunakan canting, lalu menutup bagian-bagian yang tidak berwarna dengan lilin (malam), pewarnaan, nglorod (proses membilas atau meluruhkan lapisan malam), hingga mencuci dan kemudian menjemurnya hingga siap dipakai.

Seorang yang menguasai pembuatan batik tentu mampu melakukan seluruh tahapan ini. Termasuk, dos & don'ts dalam melakukan setiap tahapan tersebut.

Cahyo, misalnya, sudah 15 tahun ia mencurahkan seluruh hidupnya untuk melanjutkan usaha batik milik ayahnya. Cahyo mampu mengolah desain batik, menciptakan warna yang dihasilkan dari bahan-bahan alami seperti kayu tingi, secang, mahoni, jambal, tegeran, atau jelawe. Ia lah yang bertindak dalam membuat komposisi yang pas antara kayu satu dengan kayu lainnya, hingga tercipta suatu warna yang diinginkannya.

Cahyo adalah salah satu contoh pembatik yang mengutamakan kualitas, mengejar kesempurnaan hingga semaksimal mungkin. "Saya pernah ditawari untuk menitipkan batik buatan saya (Cahyo menyebutkan outlet besar produk-produk budaya di sebuah pusat perbelanjaan terkemuka di Jakarta, RED), tapi saya tolak. Karena, saya ini dasarnya pembatik," katanya.

Cahyo mengejar kepuasan batin dengan menghasilkan batik yang berkualitas tinggi. Selembar kain batik karyanya yang berukuran 2,5 m dari bahan katun bisa dihargai hingga Rp 3 juta. Sedangkan batik dari bahan sutera nilainya bisa mencapai Rp 15 juta.

Cahyo tidak memungkiri, ia tetap membutuhkan keuntungan dalam waktu cepat untuk memberi nafkah bagi 50-an pembatik yang menjadi karyawannya, sekaligus untuk biaya operasional pembuatan batiknya. Oleh karena itu, Cahyo juga memproduksi batik sebagai second line dengan merek Norma, yang lebih cepat pengerjaannya.

"Batik yang ini harganya lebih terjangkau, menggunakan bahan pewarna kimia. Tidak semuanya batik cap, ada juga yang tulis," paparnya. Batik tulis yang harganya lebih terjangkau ini umumnya menggunakan katun.

Banyak hal yang bisa menghambat pengerjaan sehelai batik, dan mengharuskan pembatik mengulangi pembuatannya dari awal. Misalnya, pelukisan dengan lilin yang blobor akibat cairan lilin yang tidak pas kekentalannya. Atau, kegagalan saat proses pewarnaan. Kalau sudah begini, pembatik tentu mengalami kerugian seperti hilangnya lembaran kain berbahan sutera yang nilainya mencapai jutaan.

"Itu sering terjadi, dan mau tidak mau kita harus menerimanya. Anda harus membayar kegagalan itu dengan menikmati seluruh prosesnya. Enjoy the process, enjoy the moment. Kita tidak akan menjadi pembatik yang andal jika tidak melalui proses kegagalan itu," tutur desainer Edward Hutabarat, dalam kesempatan yang sama.

Di luar urusan teknis, masih ada kendala sosial yang menghambat proses pembuatan batik. Banyak pembatiknya yang menikah, mempunyai anak, dan memutuskan berhenti bekerja. "Padahal regenerasi kan harus terus berlangsung. Akhirnya saya harus mencari pembatik lagi, entah dari keluarga atau teman-temannya," kata Cahyo.

Kamis, 19 Juli 2012

Batik Sarung Pekalongan Tembus Abu Dhabi

Kain sarung batik Pekalongan, kini mampu menembus pasar Abu Dhabi dan Yaman.

Salah seorang pengusaha sarung batik di Pekalongan, Fahrudin mengatakan, pemasaran kain sarung batik bermotif bunga ke Abu Dhabi dan Yaman masih dilakukan melalui jasa perantara.

"Ekspor kerajinan kain sarung batik ini memang masih menggunakan jasa perantara dan belum bisa kami pasarkan ke Abu Dhabi dan Yaman secara langsung, karena berbagai faktor," katanya.

Produk yang diekspor ke Abu Dhabi dan Yaman masih dalam bentuk lembaran kain batik bermotif bunga, dan selanjutnya di kedua negara tersebut barang kerajinan tersebut dibuat sarung.

"Pengiriman barang ke Abu Dhabi dan Yaman kami lakukan dua kali dalam sepekan sesuai dengan permintaan," katanya.

Menurut dia, dengan jumlah karyawan 100 orang, usaha yang dikelolanya mampu memproduksi kerajinan kain sarung batik sebanyak 10 kodi atau 200 lembar kain per hari.

Harga kain sarung batik ukuran 200 cm X 115 cm antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu per potong.

"Mahal dan tidaknya kain sarung batik bermotif bunga tergantung dari bahan baku serta motifnya. Kain sarung batik yang dibuat dengan cara dicap, tentu harganya lebih murah daripada kain batik tulis," katanya.

Jumat, 22 Juni 2012

A Heart for Batik

ika ada budaya tradisional Indonesia yang tetap bisa dibawa ke era modern, maka itu adalah batik. Batik adalah kain tradisional khas Indonesia yang berhasil bertahan hingga saat ini. Batik memiliki nilai estetika dan sarat akan makna simbolis yang berhubungan erat dengan filosofi kehidupan manusia.
Jika dulunya batik identik dengan pakaian tradisional Indonesia, khususnya Jawa, maka sekarang batik sudah bertransformasi menjadi beragam bentuk pakaian yang disesuaikan dengan tren saat ini. Kini sudah banyak disainer Indonesia yang kembali menghidupkan batik dalam berbagai bentuk fesyen yang stylish namun tetap mempertahankan keanggunannya.

Awalnya, batik merupakan pakaian keluarga keraton, namun kemudian berkembang menjadi pakaian yang digemari oleh seluruh rakyat. Lalu akibat adanya peperangan, maka banyak keluarga raja yang mengungsi atau menetap di daerah-daerah baru antara lain Banyumas, Pekalongan, dan daerah-daerah lainnya. Itulah yang kemudian membuat batik berkembang ke seluruh pelosok Jawa dan menyesuaikan dengan kondisi di daerah masing-masing.

Batik Solo, misalnya, dikenal dengan corak dan pola yang masih mempertahankan unsur tradisional, dengan pewarnaan yang masih memakai bahan-bahan asli seperti Soga Jawa. 'Sidomukti' dan 'Sidoluruh' adalah pola yang sangat terkenal dari batik Solo.

Pada tahun 1840 sampai 1910, batik mengalami akulturasi dengan budaya Belanda pada motif dan warnanya. Cerita-cerita yang berasal dari barat seperti, Putri Salju, Si Topi Merah, menjadi favorit di zaman itu. Batik Belanda ini berakhir menjelang era kekuasaan Jepang, tahun 1940. Batik Jepang kemudian menyusul dengan motif aneka bunga bergaya Jepang yang dipadukan dengan motif tradisional. Warna-warna batik jenis ini cenderung cerah sehingga menimbulkan kesan ceria.

Di wilayah barat, batik berkembang ke daerah Bayumas, Pekalongan, Tegal, dan Cirebon. Motif-motif di daerah inipun telah dipengaruhi juga oleh berbagai budaya bangsa lain, seperti Cina, Belanda, Arab, India, Melayu, dan Jepang. Misalnya saja Batik Encim, yang mungkin cukup sering kita dengar saat ini, dipengaruhi oleh peranakan Cina, begitu pula dengan Batik Klenengan. Batik Jlamprang dengan motif yang dipengaruhi oleh budaya India dan Arab.

Di kota Semarang, batik yang berkembang juga banyak dipengaruhi oleh budaya Cina, dengan motif naturalis seperti ikan, kupu-kupu, pohon, bunga, dan sebagainya. Motif-motif naturalis juga dimiliki oleh batik asal Pekalongan. Dari Cirebon, motif-motif khas seperti hutan dan binatang yang lebih banyak muncul, sedangkan motif laut muncul karena pengaruh budaya Cina. Dan jika Anda pernah melihat batik dengan motif burung garuda, maka itu adalah batik dari Yogyakarta dan Solo.

Hingga kini, batik telah diekspor ke berbagai penjuru dunia seperti Malaysia, Jepang, Timur Tengah, Eropa Timur, Afrika, dan sebagainya. Ekspor produk batik dari industri kecil dan menengah secara nasional pada tahun 2003 mencapai US$ 460,43 juta. Dan khusus untuk batik Pekalongan, ekspornya pada tahun 2006 mencapai US$ 2,087 miliar!

Dengan motif kain yang indah dan anggun, kita dapat menghasilkan berbagai macam model busana yang anggun namun tetap stylish. Nah, punya rencana seru untuk batik Anda?

Selasa, 12 Juni 2012

Jangan Marah Kalau Ada Batik Mahal

Ketenaran batik seakan tak pernah pudar. Warisan budaya bangsa ini terus menunjukkan peningkatan, mulai dari makin berkembangnya usaha-usaha batik, makin banyak pula desainer mancanegara yang melirik batik, seperti Dries Van Noten pada koleksi Spring 2010-nya. Namun, saking makin umumnya batik, kita bisa tergoda untuk berpikir bahwa batik itu pasti sudah menjadi semacam industri besar. Saat industri sudah besar, makin mudah didapat, maka untuk urusan harga, harusnya makin murah. Tetapi kenyataannya tidak begitu. Sehelai kain batik yang cantik bisa mencapai jutaan rupiah di pasaran.

Kain batik ada berbagai tipe, ada yang dicap, ditulis, atau pun kombinasi keduanya, serta printing. Teknik pembuatan tersulit adalah batik tulis yang membutuhkan keahlian khusus.

Pada acara peluncuran KAO Attack Batik Cleaner di Museum Nasional, Edward Hutabarat yang sudah berkecimpung dengan batik sejak 9 tahun lalu, mengatakan bahwa batik bisa berharga mahal karena banyak hal. Misal, dalam selembar kain sepanjang 5 meter yang perlu pembuatan 5 bulan, dibutuhkan banyak upaya, usaha, dan kesabaran yang ekstra.

"Mulai dari pengurusan mori, ada yang menggulung, ada yang mengukur, ada yang memotong. Kedua, ada yang menggambar pakai pensil. Lalu ada pula bagian menulis pakai canting, ini bagian maestro. Lalu ada yang bagian mewarna. Untuk yang melilin, melorod, dan membilas, lain lagi, lalu yang menyeterika pun lain lagi. Jadi kalau ada sepotong kain harganya Rp 5 juta yang dikerjakannya 5 bulan, berarti Rp 1 juta per bulan, dibagi tujuh orang. Terbayang, kan? Itu pun kalau harganya segitu. Kalau harganya Rp 1 juta, dibagi 7, kan lebih sedikit lagi," ujar pemilik butik Part One ini.

"Belum lagi, perlu Anda ketahui, bahwa untuk membatik, seseorang butuh waktu setidaknya 20 tahun untuk bisa dikatakan sebagai maestro. Untuk pembatik yang baru mencoba belajar hingga 5 tahun, ia baru dinamakan pemula. Untuk yang sudah belajar 6-10 tahun, baru dikatakan bisa membatik. Sementara mereka yang sudah 10-20 tahun membatik, sudah masuk dalam rank tertentu. Sementara mereka yang sudah membatik 20 tahun ke atas, barulah dinamakan maestro. Tidak mudah perjalanan untuk bisa menggambar di atas kain batik," jelas pria yang akrab dipanggil Edo ini.

Tetapi ini untuk batik tulis. Untuk batik cap dan print, tentu seharusnya tidak semahal batik tulis karena menggunakan alat dan pembuatannya bisa lebih cepat dan massal. Membedakannya bisa terlihat, bahwa batik tulis kadang warna guratannya tembus hingga ke belakang kain. Selain itu, garis-garisnya jarang ada yang persis sama. Batik tulis, karena pengerjaannya dengan tangan, garis atau bentuk motif yang serupa jarang ada yang persis sama.

Bukan hanya soal itu saja, yang perlu dihargai dan dilihat adalah craftmanship para pembatik, baik keahlian mengulik dan menulis gambar, tetapi juga ketelitian menggabungkan motif menjadi sebuah kesatuan yang indah.

"Anda tahu, di dalam motif, bisa terbuat dari berbagai macam bentuk. Dalam sebuah batik Pekalongan, misalnya, yang ada berbagai macam bentuk daun, di masing-masing daunnya memiliki motif yang berbeda-beda. Itu tidak mudah untuk mengubah desain kecil-kecil. Butuh ketelitian dan kesabaran. Contohnya batik Hokokai. Yang datang pada tahun 1940-1945an. Batik ini muncul pada zaman penjajahan Jepang. Pada saat itu, masyarakat Indonesia hidup kesusahan. Bahkan untuk pakaian pun kadang tak punya. Hingga, mereka membuat kain batik dalam dua motif, Pagi-Sore, namanya. Itu salah satu alasan datangnya batik Hokokai. Hokokai itu flora dan fauna. Colorful. Tetapi itu baru salah satunya. Masih banyak lainnya lagi," jelas pria yang dibiayai oleh PT KAO untuk melakukan perjalanan mengenal batik ke kota-kota penghasil batik di Jawa.

Di balik batik ada kehidupan anak, kehidupan perempuan, arsitektur, keindahan taman, kuliner, budaya, keindahan alam, dan masih banyak lainnya yang bersinggungan dengan si pembatik. Hal-hal semacam ini yang kemudian menginspirasi para pembatik untuk membuat motif. Namun, seringkali hal ini terlewat begitu saja oleh kita dan belum sepenuhnya mengerti mengenai esensi dan keindahan batik yang sebenarnya merupakan sebuah proses tersendiri. "Kenapa? Karena mereka yang memegang, yang berwenang, seleranya harus dibangun. Harusnya mengajak lebih banyak kaum muda untuk bekerja sama mengangkat batik dan memelihara batik," jelas Edo.

Ketika ditanyakan mengapa ia memilih batik dan tak banyak desainer yang tidak melakukannya, Edo mengatakan, "Banyak desainer Indonesia tidak percaya diri dengan kain tradisional Indonesia. Mengapa? Karena terpatok dengan desain yang berlebihan, yang miring, yang besar, yang ke sana-sini, bahkan mirip busana sirkus. Padahal, kain Indonesia harus dibuat sesimpel mungkin," jelas pria yang mengatakan bahwa dirinya tak ingin terbawa arus tren dan cenderung mendesain dengan konsep fresh, light, and simplicity in quality.

Kamis, 07 Juni 2012

Batik Patih, Unik dengan Koin dan Beads

Ina Indayanti tampaknya berhasil melepaskan statusnya sekadar sebagai istri aktor Jeremy Thomas, menjadi seorang perancang pakaian yang cukup berbakat. Karier barunya saat itu diawali dengan merancang pakaian muslim yang diberi label Valisya pada tahun 2005, dan menjualnya ke Dubai, Brunei Darussalam, dan Singapura. Responsnya cukup baik, sehingga Ina (kini dikenal sebagai Ina Thomas) mencoba merancang berbagai lini pakaian lainnya.

Tahun 2006, misalnya, Ina mulai mendesain pakaian dari bahan batik. Ia terjun sendiri mencari kain batik ke berbagai kota, melihat proses pembuatannya, hingga memutuskan untuk membeli dan mendesainnya menjadi pakaian sehari-hari yang nyaman digunakan. Ia juga menambahkan unsur batu-batuan dalam desain batiknya. Ciri khas koleksi pakaiannya adalah boho chic dengan potongan seksi yang elegan.

Koleksi batiknya ini juga menggunakan label Valisya. Baru pada 2009, sang suami memiliki ide untuk mengembangkan bisnis fashion Ina.

"Saya ingin mendukung istri saya agar bisnis fashion-nya bisa digeluti dengan serius. Akhirnya saya mendirikan line fashion di bawah naungan perusahaan saya, VMT Creative, dengan nama Ina Thomas," papar Jeremy pada Kompas Female, saat berbincang mengenai lini busana Ina Thomas di Luna Negra Resto, Plaza Bapindo, Jakarta.

Setelah dua tahun berdiri, kini Ina Thomas telah memiliki tiga jenis second line, yaitu Rock Darling, Patih, dan Nyai. Ketiga label ini memiliki ciri khas masing-masing. Rock Darling, misalnya, memadukan unsur rocker dan bohemian. Koleksinya terdiri atas gaun koktil, jaket kulit dengan aksen manik-manik, vest, t-shirt vintage, jeans yang robek-robek, dan banyak lagi. Aksesorinya banyak menggunakan rantai, kulit, dan tengkorak.

Label Nyai, yang juga dipasarkan di Malaysia dan Paris, menampilkan rancangan busana muslim yang tetap fashionable. Koleksinya dibuat dari bahan sutera sifon dengan bordir emas, hingga bahan print yang lebih simpel dengan warna-warna neon. Hampir semua rancangannya dilengkapi dengan perhiasan emas, kuningan, atau manik-manik yang unik.

Untuk koleksi batiknya, kini Ina menggunakan nama Patih. Ia tidak merancang motif batik, melainkan hanya memesan warna yang diinginkannya pada perajin batik di Yogyakarta, Solo, dan Garut. Ia mengagumi batik Jogja dan Solo karena desain dan warnanya yang terkesan antik dan kuno. Sedangkan batik Garut disukainya karena memiliki warna yang lebih beragam.

Ina cenderung memilih motif batik yang besar-besar, agar motifnya lebih terlihat. Dengan demikian, unsur batiknya jadi menonjol.

"Saat memesan, biasanya saya lihat dulu contoh motif dari perajin seperti apa. Lalu kalau saya suka, saya biarkan mereka berkreasi dengan motif-motif khas mereka sendiri. Saya tidak pernah ikut mendesain motif karena karya mereka unik-unik. Biasanya saya hanya minta warnanya disesuaikan dengan keinginan saya," ujar perempuan kelahiran 7 Juni 1975 ini.

Ina selalu membeli batik dalam jumlah banyak, namun tiap lembarnya memiliki motif yang berbeda. "Misalnya saya pesan 200 lembar batik, berarti ada 200 motif batik yang saya pesan, tidak ada yang sama. Semuanya saya desain jadi berbagai macam model, seperti gaun panjang, bolero, kemeja, sampai baju anak. Satu kain, satu motif, satu model, semuanya limited edition, tidak bisa diulang produksinya," ungkapnya bersemangat.

Perempuan berkulit putih ini mengaku tak punya langganan batik khusus atau kontrak kerja sama dengan pengusaha batik tertentu. "Dari tiga kota itu saya bisa memesan dari beberapa pengusaha batik yang berbeda, tergantung kebutuhan," tambah Ina, yang usia pernikahannya sudah 14 tahun.

Koleksi batik Patih ini menawarkan kombinasi warna dan tabrak motif yang berani. Ia menampilkan gaun-gaun stylish dengan model one shoulder atau kemben. Ada pula beragam blazer dan bolero yang memberikan sentuhan dramatis untuk penampilan keseluruhannya. Patih juga memiliki koleksi kemeja pria yang bergaya slim fit maupun loose fit, sehingga memenuhi selera pria mana saja.

Perbedaan menonjol lainnya dari label Patih milik Ina Thomas adalah pada aksesori berupa batu-batuan dan koin yang ditambahkan pada beberapa pakaiannya. "Selain tetap harus ada ciri khas gaun panjang pada line batik saya, unsur batu-batuan dari berbagai daerah di Indonesia juga membuat desain batik saya berbeda. Saya kombinasikan batu-batu alam tersebut dalam desain batik saya," jelas Ina.

Koleksi busana Ina Thomas saat ini bisa diperoleh di butik Gaya di Plaza Indonesia, sedangkan tiga label dari second line-nya bisa dipesan langsung melalui website www.inathomas.com. Tak lama lagi, label Ina Thomas juga akan segera hadir di Grand Palace, Surabaya.

Label Ina Thomas sudah ditampilkan dalam Jakarta Fashion Week 2010/2011, November lalu. Ina bermimpi bisa ikut memperkenalkan batik secara internasional. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah bisa ikut andil memfasilitasi desainer-desainer batik untuk bisa menggelar peragaan busana di luar negeri.

Kamis, 10 Mei 2012

Merawat Batik supaya Tetap Cantik

Kain batik menyimpan begitu banyak hal yang patut dibanggakan. Pembuatan dan proses hingga terciptanya sebuah kain batik tidak mudah. Batik sendiri merupakan sebuah karya seni yang unik. Penting untuk merawat batik agar selalu cantik dan terawat. Berikut tips dari desainer Edward Hutabarat untuk menjaga batik agar tetap cantik:

1. Jika ingin mencuci kain batik, siapkan empat ember. Isi ember pertama dengan air hangat yang sudah ditambahkan cairan pencuci kain batik khusus untuk mengeluarkan debu dan kotorannya. Jika kainnya antik, jangan pernah mengucek, tetapi kalau kain baru tak masalah. Hindari pencucian kain batik di dalam mesin cuci.

2. Bilas dengan air dingin pada ember kedua, ketiga, dan keempat.

3. Jangan diperas. Letakkan kain di dalam handuk kering. Tepuk-tepuk kain dengan handuk tersebut.

4. Untuk menjemur, gunakan pipa pralon atau batang bambu melintang agar kain tidak berlipat dan kehilangan bentuk. Jangan menarik kain hingga terlalu datar, biarkan bagian tengahnya mengerut sedikit.

5. Saat menjemur, pastikan tidak terkena paparan matahari langsung karena bisa merusak warnanya. Paling bagus adalah menjemurnya di bawah pohon rindang.

6. Saat menyetrika, gunakan kain paris di antara setrika dan kain untuk meredam panas. Gunakan seterika panas.

7. Untuk penyimpanan, lipat seperti melipat bendera, dengan bentuk memanjang sekitar 4 kali lipatan. Jepit kain dengan penjepit yang sudah diberikan spons agar kain tidak terluka. Simpan dengan posisi tergantung. Untuk batik yang sudah berbentuk busana, berikan spons pada hanger supaya kainnya tidak berubah bentuk.

8. Siapkan kain tile kecil, buat kantong berisi lada putih, letakkan di sudut-sudut lemari untuk mengusir ngengat. Jangan gunakan kapur barus karena terlalu keras.

9. Hindari penyemprotan parfum ke kain batik. Setiap tiga bulan sekali, keluarkan dari kain batik dari lemari untuk diangin-anginkan.

Kamis, 19 April 2012

Sabun Khusus Pencuci Batik

Seperti Anda ketahui, batik adalah kain yang spesial. Umumnya, kain batik dikenakan untuk acara-acara khusus. Seperti pada saat upacara pernikahan, upacara keluarga, dan lainnya. Supaya tidak cepat rusak atau pudar, kain batik harus dirawat dengan baik dan benar.

Menyadari arti penting batik bagi bangsa Indonesia, PT KAO yang berdiri sejak 25 tahun di Indonesia berusaha mengembangkan cairan pencuci khusus untuk batik.

Perusahaan Jepang ini mengeluarkan cairan pencuci batik yang diberi nama Attack Batik Cleaner. "Kami sering mendapatkan telepon dari pelanggan yang menanyakan apakah kami memiliki produk pencuci khusus untuk batik," terang Diana Laksmono, Category Manager, Marketing Division pada acara peluncuran di Museum Nasional.

Peluncuran Attack Batik Cleaner ini dikemas dengan kerjasama bersama desainer Edward Hutabarat untuk mengkampanyekan keindahan dan nilai luhur dari batik itu kepada masyarakat. Kampanye tersebut diberi nama "Cintaku Pada Batik Takkan Pernah Pudar".

"Banyak konsumen memisahkan batik dari pencucian baju lain. Kain batik itu pun dirawat dengan sungguh-sungguh, tidak dikucek, tidak diperas, dan tidak dijemur langsung di bawah matahari. Bahkan ada yang mencuci baju batik dengan shampo bayi atau sabun badan yang dikira lebih lembut. Kini, kami berupaya membuat sabun yang cukup lembut untuk batik tanpa merusak kainnya," ujar Seiji Kikuta, Senior Manager Product Development PT KAO Indonesia.

Produk yang hanya diciptakan untuk konsumen Indonesia ini dikeluarkan dalam bentuk botolan dengan isi 270 ml. Tersedia di toko-toko besar dengan harga sekitar Rp 20.000. Untuk kain batik baru, cara pencuciannya mirip pencucian baju biasa, namun untuk kain batik antik, perhatikan cara pencuciannya.

Ketika ditanyakan apakah produk ini seperti lerak yang dipercaya bisa menjaga warna batik dan apakah akan bersifat keras seperti deterjen lain, Diana menjawab, "Produk ini tidak mengandung banyak fosfat, sehingga lebih lembut ketimbang pencucian dengan deterjen biasa. Lebih ramah lingkungan ketimbang deterjen biasa juga. Produk ini sifatnya untuk membersihkan, bukan untuk mengeluarkan warna dari batik itu."

Selasa, 06 Maret 2012

Liem Ping Wie, Cikal Bakal Batik China Peranakan

Perjalanan batik di Kota Pekalongan tak bisa dilepaskan dari pengaruh budaya Eropa, China, dan Arab. Dulu, orang-orang China datang ke Pekalongan sebagai pedagang dan melihat peluang yang besar untuk berbisnis batik. Mereka lalu menikahi orang-orang lokal (keturunannya kemudian disebut sebagai China peranakan), dan kelak menjadi kelompok pembuat batik yang paling sukses.

Salah satu nama yang populer sebagai cikal bakal batik China peranakan di Pekalongan adalah Oey Kiem Boen. Batik China Peranakan ini masih bertahan hingga sekarang, membuktikan bahwa keluarga ini bertekad untuk terus melestarikan batik China peranakan. Pusat pembuatan batiknya menggunakan nama Liem Ping Wie, yang merupakan keturunannya yang ketiga. Kini, Rumah Batik Liem Ping Wie dikelola oleh putri keenamnya, atau keturunan keempat Oey Kiem Boen, yaitu Liem Poo Hien.

Mengamati koleksi rumah batik Liem Ping Wie akan terasa betul pengaruh China yang dulu dibawa dari negara tersebut. Motif-motifnya kebanyakan berupa gambar burung, ikan, dan kupu-kupu. Namun, motif bunga, yang merupakan motif khas batik pekalongan dan dipengaruhi oleh orang-orang Eropa, juga tetap terlihat dalam koleksi mereka. Flora dan fauna lalu menjadi salah satu bentuk motif yang baru.

Liem Ping Wie juga memproduksi apa yang disebut sebagai batik Hokokai. Ciri khas Hokokai ada pada konsep pagi dan sore, yaitu satu kain yang menampilkan dua warna (atau dua motif), gelap dan terang. Karya batik Hokokai ini menyimpan cerita yang menarik.

"Dulu, waktu zaman perang (pendudukan tentara Jepang), orang kan pada takut keluar rumah. Mereka tidak bisa membeli bahan (katun) dan alat untuk membatik. Karena enggak ada kerjaan, akhirnya mereka menggunakan bahan yang sudah ada, dan menghabiskan waktu dengan membatik. Mereka memenuhi seluruh kain dengan gambar batik. Anda lihat kan, motif batik ini penuh menutupi kain," ungkap Liem Poo Hien, saat menemani wartawan yang berkunjung ke rumah batiknya atas undangan PT Kao Indonesia, di kawasan Kedungwuni, Pekalongan.

Jadi sebenarnya, selembar kain yang menampilkan dua warna itu karena pembatik harus menghemat bahan. Pagi hari, kaum ibu petani menggunakan sisi kain yang berwarna terang. Untuk acara sore hari, digunakan sisi kain yang berwarna gelap. Bila ingin dikenakan sebagai sarung, kain dipakai secara horisontal. Untuk kain panjang atau jarik, kain dikenakan secara vertikal. Kekosongan bahan katun ternyata bisa "memaksa" para pembatik untuk kreatif dan justru menghasilkan batik yang sangat berkualitas. Siapa sangka, tekanan keadaan justru melahirkan satu aliran batik tersendiri, bukan?

Ketika itu, kain-kain batik produksi mereka juga hanya dikenakan sendiri, untuk hantaran, atau perkawinan. Tetapi sekarang, batik tulis China peranakan menjadi produk budaya yang nilainya jutaan rupiah. Batik yang lama pengerjaannya mencapai delapan bulan ini (karena motif tanahannya yang sangat halus dan detail, dan dikerjakan pada kedua sisi kain) bisa dihargai hingga jutaan rupiah.

Nama besar Liem Ping Wie juga menyebabkan pelanggannya tak hanya datang dari Indonesia, tetapi juga Jepang dan Singapura. Mereka datang langsung ke rumah batik Kedungwuni ini jika ingin membeli batik. Hingga sekarang, Liem Ping Wie tidak membuka toko.

Namun, Hien menolak menerima orderan dari pelanggan di Jepang atau Singapura karena umumnya mereka hanya memberikan uang muka saat memesan. Padahal, proses pembuatan batik sangat rumit dan membutuhkan waktu berbulan-bulan. Hien tentunya juga membutuhkan dana untuk biaya operasional dan menggaji karyawan secara mingguan.

"Sekarang, kalau memang butuh, pelanggan datang saja mengambil stok yang ada. Seperti tadi, kan, ada tamu dari Jepang yang datang. Mereka terima jadi aja," tutur Hien yang kini bekerja sama dengan Edward Hutabarat untuk memproduksi batik dengan desain dari desainer tersebut.

Untuk menghidupi diri dan karyawannya, Hien juga memproduksi batik cap yang pengerjaannya lebih cepat, dan cepat pula lakunya. "Kalau saya mengerjakan pesanan semua, saya bisa sinting," katanya terkekeh.

Minggu, 04 Maret 2012

Bikin Batik Cap Pun Harus Pakai "Feeling"

Industri batik sedang berkembang pesat saat ini. Untuk memenuhi permintaan para penggemar motif batik, pelaku industri memproduksi kain batik yang proses pembuatannya lebih instan. Pembatik tidak harus melukisnya dengan canting setitik demi setitik seperti pada batik tulis, melainkan dengan semacam cetakan yang sudah bermotif batik. Kain batik pun lebih cepat jadi, dan harganya juga jadi lebih terjangkau. Batik semacam ini disebut batik cap.

Tidak seperti batik tulis yang proses pelukisan malamnya umumnya dikerjakan oleh kaum wanita, batik cap justru lebih sering dilakukan kaum pria. "Soalnya laki-laki itu tidak telaten kalau harus membatik (tulis). Lagipula canting cap itu berat, jadi lebih cocok dikerjakan laki-laki," kata Nur Cahyo, pemilik Batik Cahyo, saat menerima kunjungan wartawan dan PT Kao Indonesia di workshop batik capnya di kawasan Sampang, Pekalongan, Desember lalu.

Selain proses pelukisan motif batik yang menggunakan cetakan, atau canting cap, proses selanjutnya dilakukan dengan cara yang sama seperti saat membuat batik tulis. Misalnya dari proses pewarnaannya (bisa dengan pewarna alami atau pewarna kimia) yang harus berulang-ulang untuk mendapatkan warna yang diinginkan, atau dari proses nglorodnya.

Ketika kami berkunjung ke balai kerja Cahyo tersebut, aktivitas pencapan pada kain tengah berlangsung. Hanya tiga pekerja pria yang tampak sedang mengerjakan proses membatik ini. Ada dua tahap yang dilakukan untuk menghasilkan motif batik pada kain, yaitu membuat motif dasar dengan canting cap, dan menjaplak atau memindahkan motif bunga dari cetakan kertas ke kain. Motif bunga ini nanti hanya muncul di sana-sini.

Sepintas, canting cap itu bentuknya seperti setrika arang. Cahyo memiliki ratusan canting cap beraneka motif di balai kerjanya. Canting cap harus dipesan ke pengrajin dengan memberikan motif yang diinginkan. Sebuah canting cap harganya sekitar Rp 300.000 - Rp 500.000, tergantung motifnya.

Canting yang dibuat dari tembaga ini ukurannya juga berbeda-beda, tergantung besar kecilnya motif, dan apakah juga berisi isen-isen (bidang kosong yang harus diisi dengan guratan-guratan kecil). Canting yang rata-rata berukuran sekitar 15 x 25 cm ini lalu dicelup ke cairan malam, lalu dicapkan di atas kain, setapak demi setapak.

Meskipun kesannya lebih praktis dan cepat (satu hari bisa jadi 10 helai kain batik), membuat batik cap tetap membutuhkan ketelitian yang tinggi. Batik cap milik Cahyo, misalnya, tetap dikenal dengan kehalusannya. Kehalusan ini tampak dari presisi peletakan canting cap di sekujur bidang kain. Tidak ada garis sambungan yang meleset, semuanya pas.

"Tukang cap harus memastikan agar nyambungnya pas. Kalau tukang capnya tidak profesional, lilinnya bisa menempel di cantingnya," tukas Cahyo. Kalau sudah begitu, seperti ada garis-garis yang menebal atau menggumpal di kain. Repotnya, ketidaksempurnaan ini seringkali baru terlihat setelah proses pewarnaan.

Agar tidak terjadi hal semacam ini, tukang cap harus mampu membuat komposisi malam yang tepat. Itu bisa diperoleh dengan memerhatikan tingkat panas dan kekentalan malamnya. Pendek kata, batik cap pun membutuhkan satu feeling dalam pengerjaannya. Hanya dengan komitmen untuk mendapatkan yang terbaik lah, tercipta karya batik cap yang berkualitas.

Minggu, 19 Februari 2012

Ramah dan Alami Lewat Batik

Batik yang menggunakan pewarna alami semakin menjadi tren. Meskipun proses pembuatannya lebih panjang dan berisiko, limbahnya ramah bagi lingkungan. Gerai batik ini selalu ramai didatangi pengunjung pada pameran Adiwastra Nusantara 2011 yang berlangsung bulan Juni lalu di Balai Sidang Jakarta. Koleksinya mengkhususkan diri pada kain batik berpewarna alami, khususnya indigo. Dengan warna abu-abu, kehijauan, dan biru yang dipadu dengan potongan trendi, koleksi berlabel Galeri Batik Jawa tersebut menyedot perhatian konsumen.

Bagi Mayasari Sekarlaranti (42), pemilik Galeri Batik Jawa, yang akrab dipanggil Nita, kecintaannya pada batik sudah tertanam sedari anak-anak. Nita yang mengendalikan bisnisnya dari kota kelahirannya, Yogyakarta, sedari kecil terbiasa mengantar ibunya mencari batik pedesaan. Pengalaman ini juga yang mendorongnya untuk membantu para pembatik di desa-desa di kawasan Imogiri ketika Yogyakarta terkena gempa tahun 2006.

”Waktu itu industri batik di kawasan ini hancur. Saya bersama teman-teman ingin memberdayakan kembali para pembatik Imogiri. Masalahnya, bila membangun kembali pembatikan dengan pewarnaan kimiawi, kawasan Imogiri yang belum pulih dari kerusakan akan semakin rusak lingkungannya oleh limbah kimia. Jadi, saya memutuskan untuk menggunakan bahan alami, yaitu dari pohon indigo (Indigofera tinctoria),” kata Nita pekan lalu.

Pencarian pohon indigo dilakukan sampai ke Tuban, Ambarawa, Krakal, dan Jember. Bahan baku itu kemudian diolah menjadi pasta indigo. Kegiatan pembatikan yang melibatkan sekitar 50 ibu di Imogiri itu pun bisa berlanjut kembali. ”Saya memang berniat untuk kembali ke bahan alami karena semakin ke depan kita dituntut untuk mengembangkan usaha yang ramah lingkungan. Lagipula, pewarnaan dengan bahan alami ini sudah dilakukan nenek moyang kita,” kata Nita.

Hanya saja, proses pengerjaannya menjadi lebih lama. Menurut Nita, untuk menjaga agar (gambar) motif batik tidak rontok, dibutuhkan pencelupan sampai 15-20 kali. Bandingkan dengan pembatikan dengan bahan kimia yang membutuhkan proses pencelupan sekitar 1-3 kali saja.

Selain itu, formula warna juga tidak stabil, bisa berubah-ubah tergantung spesies pohon indigo dan jenis kain. ”Yang kami budidayakan adalah indigo dengan daun yang lonjong, panjang, dan lebar, seperti yang ada di Bali, karena hasilnya bagus pada kain. Kami sekarang membudidayakannya di Yogyakarta dan Ambarawa. Tanaman setiap enam bulan sudah bisa dipotong dan bagusnya kita tidak harus mencerabut pohonnya sehingga setiap tiga bulan sudah berdaun lagi,” kata Nita

Setelah lima tahun pembatikan berjalan, kini di Imogiri mulai tumbuh generasi pelanjut. Sudah ada beberapa anak remaja yang terlibat membatik. ”Kuncinya adalah pemahaman pada generasi muda bahwa batik bisa menghasilkan income yang rutin. Memang ada batik-batik yang per helainya dikerjakan sampai berbulan-bulan, tapi untuk pemasukan rutinnya, mereka juga mengerjakan batik yang motifnya mudah dan bisa diselesaikan dalam beberapa hari,” kata Nita.

Di gerainya, Nita menjual batik tulis indigo seharga Rp 350.000 sampai Rp 1,5 juta untuk kain, dan Rp 350.000 sampai Rp 1,5 juta untuk baju yang sudah jadi. Selain di Jakarta, gerainya juga ada di Yogyakarta, Bekasi, Semarang, dan Bandung. ”Rata-rata kami menghasilkan 500 potong per bulan, campuran antara kain dan baju jadi,” kata Nita.

Selalu bikin penasaran
Nur Cahyo (46), pengusaha batik asal Pekalongan yang memiliki label ”Cahyo” dan ”Norma” (lapis keduanya), telah lebih dari delapan tahun bergelut dengan batik berpewarna alami. ”Kini usaha batik saya 70 persen batik alami, sisanya masih ada usaha batik dengan pewarna kimiawi,” kata Cahyo, yang batiknya dikenal memiliki corak tanahan dan isen-isen yang sangat halus.

Sebagian besar produk batik Cahyo berwarna sogan, kehijauan, kekuningan, dan kecoklatan. Warna-warna itu diperoleh dari campuran kayu tegeran, seucang, kayu tingi, dan kayu jambal. Adapun untuk larutan ”pengunci”, bahannya digunakan dari belimbing wuluh. ”Limbah pewarna alami bisa kami buang langsung ke tanah, tak masalah,” kata Cahyo

Rabu, 08 Februari 2012

Habis Dicuci, Batik Kok Bisa Susut?

Paling kesal kalau Anda habis kalap berbelanja pakaian batik, dan mendapati batik tersebut susut setelah dicuci sekali saja. Mengapa bisa begitu, bahkan bentuknya pun berubah?

Menurut Nur Cahyo, pemilik Rumah Batik Cahyo di Pekalongan, setiap kain batik pada dasarnya akan menyusut. Susutnya tidak tanggung-tanggung, bisa mencapai 5 - 10 cm! Karena itu, pembatik harus memperhitungkan ukuran kain sebelum memotongnya.

"Jadi pas memotong kain, panjangnya dilebihi sekian senti. Kain (yang sudah dilukis batik) itu sendiri tidak akan susut karena sudah melewati proses lorod dua atau tiga kali," ujar Cahyo, saat menerima kunjungan wartawan bersama desainer Edward Hutabarat dan PT Kao Indonesia di rumah batiknya.

Menurut Cahyo, batik yang menyusut setelah dicuci itu biasanya yang dijual dalam bentuk jadi (kemeja, celana pendek atau panjang), dan terbuat dari kain krayon. Sedangkan kain batik yang banyak dijual di toko atau di pameran, biasanya terbuat dari katun atau sutera.

"Kalau bentuknya kain batik, tidak mungkin susut," tegasnya. Kalau Anda membeli kain batik, ukur saja panjangnya. Setelah mencucinya, ukur kembali panjangnya. Pasti masih sama!

Agar warna batik tak cepat pudar, sebaiknya Anda juga memerhatikan cara mencucinya. Saat mencuci batik, jangan mencampur pakaian batik dengan pakaian lain. Lalu, menggunakan sabun khusus pencuci batik seperti Attack Batik Cleaner, yang kandungan deterjennya tidak terlalu keras. Setelah dibilas, bahan batik tak perlu diperas dengan cara memelintirnya.

"Setelah ditiriskan, taruh handuk, lalu hamparkan kain batik di atasnya. Kemudian batik digulung bersama dengan handuknya," demikian saran Harris Pranata Wijaya, Associate Brand Manager PT Kao Indonesia.

Pakaian yang sudah bersih lalu bisa digantung di pralon atau bambu, bukan di jemuran kawat yang bisa mengubah bentuknya. Saat menyimpan di lemari, sebaiknya jangan menggunakan kamper untuk mencegah kelembaban di dalam lemari, melainkan bubuk lada putih.

Rabu, 25 Januari 2012

Pewarna Alam Bikin Warna Batik Jadi Unik

Proses pewarnaan kain batik umumnya dilakukan dengan menggunakan pewarna kimia. Namun kini semakin populer pula proses pewarnaan yang menggunakan bahan baku dari alam. Dengan menggunakan pewarna alam ini, proses pembuatan batik tentunya menjadi lebih ramah lingkungan.

Untuk memperkenalkan proses pewarnaan alam ini, Komunitas Klasik Indonesia mengadakan workshop “Ikat Celup dengan Pewarna Alam” di Museum Tekstil Indonesia, Jakarta, beberapa waktu lalu. Dalam workshop yang merupakan salah satu rangkaian program bertema “Dari Wanita untuk Karya dan Alam Indonesia” ini dijelaskan pula berbagai kelebihan dari zat pewarna alam.

Bahan pewarna alami umumnya berasal dari tumbuh-tumbuhan, seperti kayu, kulit kayu, akar, kulit akar, biji, kulit biji, daun, maupun bunga. Proses pewarnaan dengan menggunakan zat warna alam memang lebih rumit jika dibandingkan dengan menggunakan zat pewarna sintetis. Sebab, prosesnya harus dilakukan berulang kali untuk mendapatkan warna seperti yang diinginkan. Namun warna-warna yang dihasilkan memang cenderung menjadi lembut serta bersifat unik dan eksklusif. Karakteristik dari tumbuhan dan faktor lingkungan lah yang mempengaruhinya.

Masalahnya, tak semua bahan tekstil bisa diwarnai dengan zat pewarna alam. Bahan yang bisa digunakan adalah yang berasal dari serat alam seperti sutera, wol, dan kapas (katun). Sedangkan bahan-bahan dari serat sintetis seperti polyester atau nilon tidak memiliki afinitas, atau daya tarik, terhadap zat warna alam sehingga bahan-bahan ini sulit diwarnai dengan zat warna alam. Bahan dari sutera umumnya memiliki afinitas paling baik terhadap zat warna alam dibandingkan dengan bahan dari kapas.

Benny Gratha, volunteer Museum Tekstil Indonesia, lalu membeberkan pula tahap-tahap pewarnaan alam tersebut:

1. Mordant
Agar warna dapat menempel dengan baik, kain yang akan diwarnai harus di-mordant terlebih dahulu. Proses mirdant dilakukan dengan merendam bahan ke dalam garam-garam logam seperti tawas. Zar-zat mordant ini berfungsi untuk membentuk jembatan kimia antara zat warna alam dengan serat sehingga afinitas (daya tarik) zat warna meningkat terhadap serat, dan berguna untuk menghasilkan kerataan dan ketajaman warna yang baik. Sebelum dilakukan proses mordant, kain terlebih dahulu dicuci dan direndam dalam air sabun selama 12 jam, kemudian dibilas dan dikeringkan.

2. Ekstraksi dan pewarnaan
Proses pembuatan larutan zat warna alam adalah proses untuk mengambil pigmen-pigmen penimbul warna yang berada di dalam tumbuhan, baik yang terdapat pada daun, batang, buah, bunga, biji, maupun akar. Proses pengambilan pigmen zat warna alam disebut proses ektraksi, dilakukan dengan cara merebus bahan dengan air.

3. Fiksasi
Fiksasi merupakan proses untuk memperkuat warna agar tidak luntur. Fiksasi dapat dilakukan dengan beberapa bahan seperti tawas, kapus, atau tanjung. Masing-masing bahan mempunyai karakteristik yang berbeda terhadap warna.

Kamis, 19 Januari 2012

Warna-warni Batik Tasikmalaya

asikmalaya memiliki batik khasnya sendiri. Sayangnya, batik Tasikmalaya kalah pamor dibanding batik asal Pekalongan dan Solo. Padahal, keelokan batik Tasikmalaya tak bisa dianggap sebelah mata.

Lihat saja sekilas dan Anda pasti jatuh hati. Bagaimana tidak, warna-warna mencolok seperti merah, biru, dan hijau merupakan warna khas dari batik Tasikmalaya. Menurut Deden, perajin batik Tasikmalaya, ketiga warna cerah tersebut sejak lama menjadi ciri khas batik Tasikmalaya. Deden merupakan salah satu perajin di sentra batik Tasikmalaya yang terletak di Jalan Cigeureung, Kecamatan Cipedes, Tasikmalaya, Jawa Barat.

"Kita juga produksi warna juga sesuai permintaan pasar. Tapi kalau merah, biru, dan hijau ini ciri khas dari dulu, jadi selalu ada. Sekarang trennya itu warna ungu," ujarnya.

Deden adalah pemain lama di industri batik Tasikmalaya. Ia terkenal sebagai produsen terbesar di Cigeureung. Deden merupakan generasi kedua dari keluarga perajin batik Tasikmalaya.

"Ini sejak tahun 1950-an. Awalnya usaha bapak saya, Haji Asep. Masih rumahan lalu punya satu pabrik. Sekarang kita ada dua pabrik," tuturnya.

Beberapa ornamen klasik khas batik Tasikmalaya adalah lereng suling, sekar jagat, dan serat kayu. Ada pula ornamen-ornamen lainnya. Sebut saja ornamen bilik yang berbentuk seperti garis-garis berjejer dalam posisi horizontal berselingan dengan posisi vertikal.

Deden memproduksi batik dengan dua cara, yaitu batik tulis dan batik cap. Ia menceritakan perlu waktu dua minggu untuk menghasilkan batik tulis. Sementara batik cap hanya perlu sekitar dua hari. Oleh karena itu, batik tulis tentu saja lebih mahal harganya.

Deden biasa mengikuti pameran di Jakarta sehingga para pelanggannya pun tersebar di berbagai daerah. Jika Anda warga Jakarta, tenang saja ketika Anda mampir ke galeri Deden di Tasikmalaya, tetapi merasa tak menemukan apa yang Anda cari. Anda bisa memesan untuk model baju dengan kain tertentu yang Anda inginkan. Lalu ambillah pesanan saat Deden ikut serta pameran di Jakarta.

Memang, sering kali pelanggan menginginkan suatu model, tetapi tak merasa cocok dengan warnanya. Ada pula pelanggan yang naksir dengan suatu kain, tetapi tak tersedia dalam suatu bentuk baju jadi. Jangan lupa untuk mampir ke pabrik Deden. Mintalah pegawai di galeri untuk mengantarkan Anda ke pabrik sehingga Anda bisa melihat proses pembuatannya. Selain itu, Anda juga bisa minta diajarkan pembuatan batik.

"Gratis, kami tidak pungut bayaran untuk yang ingin coba belajar singkat. Kami sediakan kain seukuran sapu tangan untuk belajar membatik. Banyak rombongan yang datang kemari untuk berwisata batik. Ada juga yang individu," katanya.

Beberapa orang mengaku harga batik Tasikmalaya lebih mahal dibanding batik asal Pekalongan dan Solo.

"Bahan baku untuk batik Tasikmalaya masih ambil dari Pekalongan. Dulu di Tasikmalaya ada pabrik tekstil tapi lalu tutup," ujar Deden. Salah satu pegawainya, Bapak Aki, adalah mantan pekerja di pabrik tekstil tersebut. Sejak pabrik itu tutup, ia pun bekerja di usaha batik milik Deden.

"Saya sudah kerja di sini sejak tahun 1976, dari masih dipegang Haji Asep," kata Bapak Aki sambil sibuk mengecap batik.

Ia memang bertugas membuat batik cap. Bapak Aki mengaku di usianya yang sudah tua, matanya mulai lemah. "Jadinya oleh Pak Deden saya ditugaskan untuk mengecap motif yang besar-besar saja. Kalau yang motif kecil saya susah lihatnya," ujarnya.

Sementara itu, di sudut lain pabrik batik milik Deden, tangan-tangan terampil ibu-ibu tua bagaikan menari di atas kain. Canting bergesekan dengan kain dan aroma lilin mengudara. Deden menjelaskan, ia sengaja mempekerjakan para ibu sepuh itu karena memang mereka ini yang terampil dalam membatik. "Mereka sangat teliti dan rapi," ujarnya. Sesekali terdengar riuh tawa para ibu yang saling bercanda. Dalam dekapan kain warna-warni, ibu-ibu sepuh itu laksana sedang bermain dalam taman batik.