Jumat, 22 Juni 2012

A Heart for Batik

ika ada budaya tradisional Indonesia yang tetap bisa dibawa ke era modern, maka itu adalah batik. Batik adalah kain tradisional khas Indonesia yang berhasil bertahan hingga saat ini. Batik memiliki nilai estetika dan sarat akan makna simbolis yang berhubungan erat dengan filosofi kehidupan manusia.
Jika dulunya batik identik dengan pakaian tradisional Indonesia, khususnya Jawa, maka sekarang batik sudah bertransformasi menjadi beragam bentuk pakaian yang disesuaikan dengan tren saat ini. Kini sudah banyak disainer Indonesia yang kembali menghidupkan batik dalam berbagai bentuk fesyen yang stylish namun tetap mempertahankan keanggunannya.

Awalnya, batik merupakan pakaian keluarga keraton, namun kemudian berkembang menjadi pakaian yang digemari oleh seluruh rakyat. Lalu akibat adanya peperangan, maka banyak keluarga raja yang mengungsi atau menetap di daerah-daerah baru antara lain Banyumas, Pekalongan, dan daerah-daerah lainnya. Itulah yang kemudian membuat batik berkembang ke seluruh pelosok Jawa dan menyesuaikan dengan kondisi di daerah masing-masing.

Batik Solo, misalnya, dikenal dengan corak dan pola yang masih mempertahankan unsur tradisional, dengan pewarnaan yang masih memakai bahan-bahan asli seperti Soga Jawa. 'Sidomukti' dan 'Sidoluruh' adalah pola yang sangat terkenal dari batik Solo.

Pada tahun 1840 sampai 1910, batik mengalami akulturasi dengan budaya Belanda pada motif dan warnanya. Cerita-cerita yang berasal dari barat seperti, Putri Salju, Si Topi Merah, menjadi favorit di zaman itu. Batik Belanda ini berakhir menjelang era kekuasaan Jepang, tahun 1940. Batik Jepang kemudian menyusul dengan motif aneka bunga bergaya Jepang yang dipadukan dengan motif tradisional. Warna-warna batik jenis ini cenderung cerah sehingga menimbulkan kesan ceria.

Di wilayah barat, batik berkembang ke daerah Bayumas, Pekalongan, Tegal, dan Cirebon. Motif-motif di daerah inipun telah dipengaruhi juga oleh berbagai budaya bangsa lain, seperti Cina, Belanda, Arab, India, Melayu, dan Jepang. Misalnya saja Batik Encim, yang mungkin cukup sering kita dengar saat ini, dipengaruhi oleh peranakan Cina, begitu pula dengan Batik Klenengan. Batik Jlamprang dengan motif yang dipengaruhi oleh budaya India dan Arab.

Di kota Semarang, batik yang berkembang juga banyak dipengaruhi oleh budaya Cina, dengan motif naturalis seperti ikan, kupu-kupu, pohon, bunga, dan sebagainya. Motif-motif naturalis juga dimiliki oleh batik asal Pekalongan. Dari Cirebon, motif-motif khas seperti hutan dan binatang yang lebih banyak muncul, sedangkan motif laut muncul karena pengaruh budaya Cina. Dan jika Anda pernah melihat batik dengan motif burung garuda, maka itu adalah batik dari Yogyakarta dan Solo.

Hingga kini, batik telah diekspor ke berbagai penjuru dunia seperti Malaysia, Jepang, Timur Tengah, Eropa Timur, Afrika, dan sebagainya. Ekspor produk batik dari industri kecil dan menengah secara nasional pada tahun 2003 mencapai US$ 460,43 juta. Dan khusus untuk batik Pekalongan, ekspornya pada tahun 2006 mencapai US$ 2,087 miliar!

Dengan motif kain yang indah dan anggun, kita dapat menghasilkan berbagai macam model busana yang anggun namun tetap stylish. Nah, punya rencana seru untuk batik Anda?

Selasa, 12 Juni 2012

Jangan Marah Kalau Ada Batik Mahal

Ketenaran batik seakan tak pernah pudar. Warisan budaya bangsa ini terus menunjukkan peningkatan, mulai dari makin berkembangnya usaha-usaha batik, makin banyak pula desainer mancanegara yang melirik batik, seperti Dries Van Noten pada koleksi Spring 2010-nya. Namun, saking makin umumnya batik, kita bisa tergoda untuk berpikir bahwa batik itu pasti sudah menjadi semacam industri besar. Saat industri sudah besar, makin mudah didapat, maka untuk urusan harga, harusnya makin murah. Tetapi kenyataannya tidak begitu. Sehelai kain batik yang cantik bisa mencapai jutaan rupiah di pasaran.

Kain batik ada berbagai tipe, ada yang dicap, ditulis, atau pun kombinasi keduanya, serta printing. Teknik pembuatan tersulit adalah batik tulis yang membutuhkan keahlian khusus.

Pada acara peluncuran KAO Attack Batik Cleaner di Museum Nasional, Edward Hutabarat yang sudah berkecimpung dengan batik sejak 9 tahun lalu, mengatakan bahwa batik bisa berharga mahal karena banyak hal. Misal, dalam selembar kain sepanjang 5 meter yang perlu pembuatan 5 bulan, dibutuhkan banyak upaya, usaha, dan kesabaran yang ekstra.

"Mulai dari pengurusan mori, ada yang menggulung, ada yang mengukur, ada yang memotong. Kedua, ada yang menggambar pakai pensil. Lalu ada pula bagian menulis pakai canting, ini bagian maestro. Lalu ada yang bagian mewarna. Untuk yang melilin, melorod, dan membilas, lain lagi, lalu yang menyeterika pun lain lagi. Jadi kalau ada sepotong kain harganya Rp 5 juta yang dikerjakannya 5 bulan, berarti Rp 1 juta per bulan, dibagi tujuh orang. Terbayang, kan? Itu pun kalau harganya segitu. Kalau harganya Rp 1 juta, dibagi 7, kan lebih sedikit lagi," ujar pemilik butik Part One ini.

"Belum lagi, perlu Anda ketahui, bahwa untuk membatik, seseorang butuh waktu setidaknya 20 tahun untuk bisa dikatakan sebagai maestro. Untuk pembatik yang baru mencoba belajar hingga 5 tahun, ia baru dinamakan pemula. Untuk yang sudah belajar 6-10 tahun, baru dikatakan bisa membatik. Sementara mereka yang sudah 10-20 tahun membatik, sudah masuk dalam rank tertentu. Sementara mereka yang sudah membatik 20 tahun ke atas, barulah dinamakan maestro. Tidak mudah perjalanan untuk bisa menggambar di atas kain batik," jelas pria yang akrab dipanggil Edo ini.

Tetapi ini untuk batik tulis. Untuk batik cap dan print, tentu seharusnya tidak semahal batik tulis karena menggunakan alat dan pembuatannya bisa lebih cepat dan massal. Membedakannya bisa terlihat, bahwa batik tulis kadang warna guratannya tembus hingga ke belakang kain. Selain itu, garis-garisnya jarang ada yang persis sama. Batik tulis, karena pengerjaannya dengan tangan, garis atau bentuk motif yang serupa jarang ada yang persis sama.

Bukan hanya soal itu saja, yang perlu dihargai dan dilihat adalah craftmanship para pembatik, baik keahlian mengulik dan menulis gambar, tetapi juga ketelitian menggabungkan motif menjadi sebuah kesatuan yang indah.

"Anda tahu, di dalam motif, bisa terbuat dari berbagai macam bentuk. Dalam sebuah batik Pekalongan, misalnya, yang ada berbagai macam bentuk daun, di masing-masing daunnya memiliki motif yang berbeda-beda. Itu tidak mudah untuk mengubah desain kecil-kecil. Butuh ketelitian dan kesabaran. Contohnya batik Hokokai. Yang datang pada tahun 1940-1945an. Batik ini muncul pada zaman penjajahan Jepang. Pada saat itu, masyarakat Indonesia hidup kesusahan. Bahkan untuk pakaian pun kadang tak punya. Hingga, mereka membuat kain batik dalam dua motif, Pagi-Sore, namanya. Itu salah satu alasan datangnya batik Hokokai. Hokokai itu flora dan fauna. Colorful. Tetapi itu baru salah satunya. Masih banyak lainnya lagi," jelas pria yang dibiayai oleh PT KAO untuk melakukan perjalanan mengenal batik ke kota-kota penghasil batik di Jawa.

Di balik batik ada kehidupan anak, kehidupan perempuan, arsitektur, keindahan taman, kuliner, budaya, keindahan alam, dan masih banyak lainnya yang bersinggungan dengan si pembatik. Hal-hal semacam ini yang kemudian menginspirasi para pembatik untuk membuat motif. Namun, seringkali hal ini terlewat begitu saja oleh kita dan belum sepenuhnya mengerti mengenai esensi dan keindahan batik yang sebenarnya merupakan sebuah proses tersendiri. "Kenapa? Karena mereka yang memegang, yang berwenang, seleranya harus dibangun. Harusnya mengajak lebih banyak kaum muda untuk bekerja sama mengangkat batik dan memelihara batik," jelas Edo.

Ketika ditanyakan mengapa ia memilih batik dan tak banyak desainer yang tidak melakukannya, Edo mengatakan, "Banyak desainer Indonesia tidak percaya diri dengan kain tradisional Indonesia. Mengapa? Karena terpatok dengan desain yang berlebihan, yang miring, yang besar, yang ke sana-sini, bahkan mirip busana sirkus. Padahal, kain Indonesia harus dibuat sesimpel mungkin," jelas pria yang mengatakan bahwa dirinya tak ingin terbawa arus tren dan cenderung mendesain dengan konsep fresh, light, and simplicity in quality.

Kamis, 07 Juni 2012

Batik Patih, Unik dengan Koin dan Beads

Ina Indayanti tampaknya berhasil melepaskan statusnya sekadar sebagai istri aktor Jeremy Thomas, menjadi seorang perancang pakaian yang cukup berbakat. Karier barunya saat itu diawali dengan merancang pakaian muslim yang diberi label Valisya pada tahun 2005, dan menjualnya ke Dubai, Brunei Darussalam, dan Singapura. Responsnya cukup baik, sehingga Ina (kini dikenal sebagai Ina Thomas) mencoba merancang berbagai lini pakaian lainnya.

Tahun 2006, misalnya, Ina mulai mendesain pakaian dari bahan batik. Ia terjun sendiri mencari kain batik ke berbagai kota, melihat proses pembuatannya, hingga memutuskan untuk membeli dan mendesainnya menjadi pakaian sehari-hari yang nyaman digunakan. Ia juga menambahkan unsur batu-batuan dalam desain batiknya. Ciri khas koleksi pakaiannya adalah boho chic dengan potongan seksi yang elegan.

Koleksi batiknya ini juga menggunakan label Valisya. Baru pada 2009, sang suami memiliki ide untuk mengembangkan bisnis fashion Ina.

"Saya ingin mendukung istri saya agar bisnis fashion-nya bisa digeluti dengan serius. Akhirnya saya mendirikan line fashion di bawah naungan perusahaan saya, VMT Creative, dengan nama Ina Thomas," papar Jeremy pada Kompas Female, saat berbincang mengenai lini busana Ina Thomas di Luna Negra Resto, Plaza Bapindo, Jakarta.

Setelah dua tahun berdiri, kini Ina Thomas telah memiliki tiga jenis second line, yaitu Rock Darling, Patih, dan Nyai. Ketiga label ini memiliki ciri khas masing-masing. Rock Darling, misalnya, memadukan unsur rocker dan bohemian. Koleksinya terdiri atas gaun koktil, jaket kulit dengan aksen manik-manik, vest, t-shirt vintage, jeans yang robek-robek, dan banyak lagi. Aksesorinya banyak menggunakan rantai, kulit, dan tengkorak.

Label Nyai, yang juga dipasarkan di Malaysia dan Paris, menampilkan rancangan busana muslim yang tetap fashionable. Koleksinya dibuat dari bahan sutera sifon dengan bordir emas, hingga bahan print yang lebih simpel dengan warna-warna neon. Hampir semua rancangannya dilengkapi dengan perhiasan emas, kuningan, atau manik-manik yang unik.

Untuk koleksi batiknya, kini Ina menggunakan nama Patih. Ia tidak merancang motif batik, melainkan hanya memesan warna yang diinginkannya pada perajin batik di Yogyakarta, Solo, dan Garut. Ia mengagumi batik Jogja dan Solo karena desain dan warnanya yang terkesan antik dan kuno. Sedangkan batik Garut disukainya karena memiliki warna yang lebih beragam.

Ina cenderung memilih motif batik yang besar-besar, agar motifnya lebih terlihat. Dengan demikian, unsur batiknya jadi menonjol.

"Saat memesan, biasanya saya lihat dulu contoh motif dari perajin seperti apa. Lalu kalau saya suka, saya biarkan mereka berkreasi dengan motif-motif khas mereka sendiri. Saya tidak pernah ikut mendesain motif karena karya mereka unik-unik. Biasanya saya hanya minta warnanya disesuaikan dengan keinginan saya," ujar perempuan kelahiran 7 Juni 1975 ini.

Ina selalu membeli batik dalam jumlah banyak, namun tiap lembarnya memiliki motif yang berbeda. "Misalnya saya pesan 200 lembar batik, berarti ada 200 motif batik yang saya pesan, tidak ada yang sama. Semuanya saya desain jadi berbagai macam model, seperti gaun panjang, bolero, kemeja, sampai baju anak. Satu kain, satu motif, satu model, semuanya limited edition, tidak bisa diulang produksinya," ungkapnya bersemangat.

Perempuan berkulit putih ini mengaku tak punya langganan batik khusus atau kontrak kerja sama dengan pengusaha batik tertentu. "Dari tiga kota itu saya bisa memesan dari beberapa pengusaha batik yang berbeda, tergantung kebutuhan," tambah Ina, yang usia pernikahannya sudah 14 tahun.

Koleksi batik Patih ini menawarkan kombinasi warna dan tabrak motif yang berani. Ia menampilkan gaun-gaun stylish dengan model one shoulder atau kemben. Ada pula beragam blazer dan bolero yang memberikan sentuhan dramatis untuk penampilan keseluruhannya. Patih juga memiliki koleksi kemeja pria yang bergaya slim fit maupun loose fit, sehingga memenuhi selera pria mana saja.

Perbedaan menonjol lainnya dari label Patih milik Ina Thomas adalah pada aksesori berupa batu-batuan dan koin yang ditambahkan pada beberapa pakaiannya. "Selain tetap harus ada ciri khas gaun panjang pada line batik saya, unsur batu-batuan dari berbagai daerah di Indonesia juga membuat desain batik saya berbeda. Saya kombinasikan batu-batu alam tersebut dalam desain batik saya," jelas Ina.

Koleksi busana Ina Thomas saat ini bisa diperoleh di butik Gaya di Plaza Indonesia, sedangkan tiga label dari second line-nya bisa dipesan langsung melalui website www.inathomas.com. Tak lama lagi, label Ina Thomas juga akan segera hadir di Grand Palace, Surabaya.

Label Ina Thomas sudah ditampilkan dalam Jakarta Fashion Week 2010/2011, November lalu. Ina bermimpi bisa ikut memperkenalkan batik secara internasional. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah bisa ikut andil memfasilitasi desainer-desainer batik untuk bisa menggelar peragaan busana di luar negeri.