Minggu, 19 Februari 2012

Ramah dan Alami Lewat Batik

Batik yang menggunakan pewarna alami semakin menjadi tren. Meskipun proses pembuatannya lebih panjang dan berisiko, limbahnya ramah bagi lingkungan. Gerai batik ini selalu ramai didatangi pengunjung pada pameran Adiwastra Nusantara 2011 yang berlangsung bulan Juni lalu di Balai Sidang Jakarta. Koleksinya mengkhususkan diri pada kain batik berpewarna alami, khususnya indigo. Dengan warna abu-abu, kehijauan, dan biru yang dipadu dengan potongan trendi, koleksi berlabel Galeri Batik Jawa tersebut menyedot perhatian konsumen.

Bagi Mayasari Sekarlaranti (42), pemilik Galeri Batik Jawa, yang akrab dipanggil Nita, kecintaannya pada batik sudah tertanam sedari anak-anak. Nita yang mengendalikan bisnisnya dari kota kelahirannya, Yogyakarta, sedari kecil terbiasa mengantar ibunya mencari batik pedesaan. Pengalaman ini juga yang mendorongnya untuk membantu para pembatik di desa-desa di kawasan Imogiri ketika Yogyakarta terkena gempa tahun 2006.

”Waktu itu industri batik di kawasan ini hancur. Saya bersama teman-teman ingin memberdayakan kembali para pembatik Imogiri. Masalahnya, bila membangun kembali pembatikan dengan pewarnaan kimiawi, kawasan Imogiri yang belum pulih dari kerusakan akan semakin rusak lingkungannya oleh limbah kimia. Jadi, saya memutuskan untuk menggunakan bahan alami, yaitu dari pohon indigo (Indigofera tinctoria),” kata Nita pekan lalu.

Pencarian pohon indigo dilakukan sampai ke Tuban, Ambarawa, Krakal, dan Jember. Bahan baku itu kemudian diolah menjadi pasta indigo. Kegiatan pembatikan yang melibatkan sekitar 50 ibu di Imogiri itu pun bisa berlanjut kembali. ”Saya memang berniat untuk kembali ke bahan alami karena semakin ke depan kita dituntut untuk mengembangkan usaha yang ramah lingkungan. Lagipula, pewarnaan dengan bahan alami ini sudah dilakukan nenek moyang kita,” kata Nita.

Hanya saja, proses pengerjaannya menjadi lebih lama. Menurut Nita, untuk menjaga agar (gambar) motif batik tidak rontok, dibutuhkan pencelupan sampai 15-20 kali. Bandingkan dengan pembatikan dengan bahan kimia yang membutuhkan proses pencelupan sekitar 1-3 kali saja.

Selain itu, formula warna juga tidak stabil, bisa berubah-ubah tergantung spesies pohon indigo dan jenis kain. ”Yang kami budidayakan adalah indigo dengan daun yang lonjong, panjang, dan lebar, seperti yang ada di Bali, karena hasilnya bagus pada kain. Kami sekarang membudidayakannya di Yogyakarta dan Ambarawa. Tanaman setiap enam bulan sudah bisa dipotong dan bagusnya kita tidak harus mencerabut pohonnya sehingga setiap tiga bulan sudah berdaun lagi,” kata Nita

Setelah lima tahun pembatikan berjalan, kini di Imogiri mulai tumbuh generasi pelanjut. Sudah ada beberapa anak remaja yang terlibat membatik. ”Kuncinya adalah pemahaman pada generasi muda bahwa batik bisa menghasilkan income yang rutin. Memang ada batik-batik yang per helainya dikerjakan sampai berbulan-bulan, tapi untuk pemasukan rutinnya, mereka juga mengerjakan batik yang motifnya mudah dan bisa diselesaikan dalam beberapa hari,” kata Nita.

Di gerainya, Nita menjual batik tulis indigo seharga Rp 350.000 sampai Rp 1,5 juta untuk kain, dan Rp 350.000 sampai Rp 1,5 juta untuk baju yang sudah jadi. Selain di Jakarta, gerainya juga ada di Yogyakarta, Bekasi, Semarang, dan Bandung. ”Rata-rata kami menghasilkan 500 potong per bulan, campuran antara kain dan baju jadi,” kata Nita.

Selalu bikin penasaran
Nur Cahyo (46), pengusaha batik asal Pekalongan yang memiliki label ”Cahyo” dan ”Norma” (lapis keduanya), telah lebih dari delapan tahun bergelut dengan batik berpewarna alami. ”Kini usaha batik saya 70 persen batik alami, sisanya masih ada usaha batik dengan pewarna kimiawi,” kata Cahyo, yang batiknya dikenal memiliki corak tanahan dan isen-isen yang sangat halus.

Sebagian besar produk batik Cahyo berwarna sogan, kehijauan, kekuningan, dan kecoklatan. Warna-warna itu diperoleh dari campuran kayu tegeran, seucang, kayu tingi, dan kayu jambal. Adapun untuk larutan ”pengunci”, bahannya digunakan dari belimbing wuluh. ”Limbah pewarna alami bisa kami buang langsung ke tanah, tak masalah,” kata Cahyo

Rabu, 08 Februari 2012

Habis Dicuci, Batik Kok Bisa Susut?

Paling kesal kalau Anda habis kalap berbelanja pakaian batik, dan mendapati batik tersebut susut setelah dicuci sekali saja. Mengapa bisa begitu, bahkan bentuknya pun berubah?

Menurut Nur Cahyo, pemilik Rumah Batik Cahyo di Pekalongan, setiap kain batik pada dasarnya akan menyusut. Susutnya tidak tanggung-tanggung, bisa mencapai 5 - 10 cm! Karena itu, pembatik harus memperhitungkan ukuran kain sebelum memotongnya.

"Jadi pas memotong kain, panjangnya dilebihi sekian senti. Kain (yang sudah dilukis batik) itu sendiri tidak akan susut karena sudah melewati proses lorod dua atau tiga kali," ujar Cahyo, saat menerima kunjungan wartawan bersama desainer Edward Hutabarat dan PT Kao Indonesia di rumah batiknya.

Menurut Cahyo, batik yang menyusut setelah dicuci itu biasanya yang dijual dalam bentuk jadi (kemeja, celana pendek atau panjang), dan terbuat dari kain krayon. Sedangkan kain batik yang banyak dijual di toko atau di pameran, biasanya terbuat dari katun atau sutera.

"Kalau bentuknya kain batik, tidak mungkin susut," tegasnya. Kalau Anda membeli kain batik, ukur saja panjangnya. Setelah mencucinya, ukur kembali panjangnya. Pasti masih sama!

Agar warna batik tak cepat pudar, sebaiknya Anda juga memerhatikan cara mencucinya. Saat mencuci batik, jangan mencampur pakaian batik dengan pakaian lain. Lalu, menggunakan sabun khusus pencuci batik seperti Attack Batik Cleaner, yang kandungan deterjennya tidak terlalu keras. Setelah dibilas, bahan batik tak perlu diperas dengan cara memelintirnya.

"Setelah ditiriskan, taruh handuk, lalu hamparkan kain batik di atasnya. Kemudian batik digulung bersama dengan handuknya," demikian saran Harris Pranata Wijaya, Associate Brand Manager PT Kao Indonesia.

Pakaian yang sudah bersih lalu bisa digantung di pralon atau bambu, bukan di jemuran kawat yang bisa mengubah bentuknya. Saat menyimpan di lemari, sebaiknya jangan menggunakan kamper untuk mencegah kelembaban di dalam lemari, melainkan bubuk lada putih.