Selasa, 06 Maret 2012

Liem Ping Wie, Cikal Bakal Batik China Peranakan

Perjalanan batik di Kota Pekalongan tak bisa dilepaskan dari pengaruh budaya Eropa, China, dan Arab. Dulu, orang-orang China datang ke Pekalongan sebagai pedagang dan melihat peluang yang besar untuk berbisnis batik. Mereka lalu menikahi orang-orang lokal (keturunannya kemudian disebut sebagai China peranakan), dan kelak menjadi kelompok pembuat batik yang paling sukses.

Salah satu nama yang populer sebagai cikal bakal batik China peranakan di Pekalongan adalah Oey Kiem Boen. Batik China Peranakan ini masih bertahan hingga sekarang, membuktikan bahwa keluarga ini bertekad untuk terus melestarikan batik China peranakan. Pusat pembuatan batiknya menggunakan nama Liem Ping Wie, yang merupakan keturunannya yang ketiga. Kini, Rumah Batik Liem Ping Wie dikelola oleh putri keenamnya, atau keturunan keempat Oey Kiem Boen, yaitu Liem Poo Hien.

Mengamati koleksi rumah batik Liem Ping Wie akan terasa betul pengaruh China yang dulu dibawa dari negara tersebut. Motif-motifnya kebanyakan berupa gambar burung, ikan, dan kupu-kupu. Namun, motif bunga, yang merupakan motif khas batik pekalongan dan dipengaruhi oleh orang-orang Eropa, juga tetap terlihat dalam koleksi mereka. Flora dan fauna lalu menjadi salah satu bentuk motif yang baru.

Liem Ping Wie juga memproduksi apa yang disebut sebagai batik Hokokai. Ciri khas Hokokai ada pada konsep pagi dan sore, yaitu satu kain yang menampilkan dua warna (atau dua motif), gelap dan terang. Karya batik Hokokai ini menyimpan cerita yang menarik.

"Dulu, waktu zaman perang (pendudukan tentara Jepang), orang kan pada takut keluar rumah. Mereka tidak bisa membeli bahan (katun) dan alat untuk membatik. Karena enggak ada kerjaan, akhirnya mereka menggunakan bahan yang sudah ada, dan menghabiskan waktu dengan membatik. Mereka memenuhi seluruh kain dengan gambar batik. Anda lihat kan, motif batik ini penuh menutupi kain," ungkap Liem Poo Hien, saat menemani wartawan yang berkunjung ke rumah batiknya atas undangan PT Kao Indonesia, di kawasan Kedungwuni, Pekalongan.

Jadi sebenarnya, selembar kain yang menampilkan dua warna itu karena pembatik harus menghemat bahan. Pagi hari, kaum ibu petani menggunakan sisi kain yang berwarna terang. Untuk acara sore hari, digunakan sisi kain yang berwarna gelap. Bila ingin dikenakan sebagai sarung, kain dipakai secara horisontal. Untuk kain panjang atau jarik, kain dikenakan secara vertikal. Kekosongan bahan katun ternyata bisa "memaksa" para pembatik untuk kreatif dan justru menghasilkan batik yang sangat berkualitas. Siapa sangka, tekanan keadaan justru melahirkan satu aliran batik tersendiri, bukan?

Ketika itu, kain-kain batik produksi mereka juga hanya dikenakan sendiri, untuk hantaran, atau perkawinan. Tetapi sekarang, batik tulis China peranakan menjadi produk budaya yang nilainya jutaan rupiah. Batik yang lama pengerjaannya mencapai delapan bulan ini (karena motif tanahannya yang sangat halus dan detail, dan dikerjakan pada kedua sisi kain) bisa dihargai hingga jutaan rupiah.

Nama besar Liem Ping Wie juga menyebabkan pelanggannya tak hanya datang dari Indonesia, tetapi juga Jepang dan Singapura. Mereka datang langsung ke rumah batik Kedungwuni ini jika ingin membeli batik. Hingga sekarang, Liem Ping Wie tidak membuka toko.

Namun, Hien menolak menerima orderan dari pelanggan di Jepang atau Singapura karena umumnya mereka hanya memberikan uang muka saat memesan. Padahal, proses pembuatan batik sangat rumit dan membutuhkan waktu berbulan-bulan. Hien tentunya juga membutuhkan dana untuk biaya operasional dan menggaji karyawan secara mingguan.

"Sekarang, kalau memang butuh, pelanggan datang saja mengambil stok yang ada. Seperti tadi, kan, ada tamu dari Jepang yang datang. Mereka terima jadi aja," tutur Hien yang kini bekerja sama dengan Edward Hutabarat untuk memproduksi batik dengan desain dari desainer tersebut.

Untuk menghidupi diri dan karyawannya, Hien juga memproduksi batik cap yang pengerjaannya lebih cepat, dan cepat pula lakunya. "Kalau saya mengerjakan pesanan semua, saya bisa sinting," katanya terkekeh.

Minggu, 04 Maret 2012

Bikin Batik Cap Pun Harus Pakai "Feeling"

Industri batik sedang berkembang pesat saat ini. Untuk memenuhi permintaan para penggemar motif batik, pelaku industri memproduksi kain batik yang proses pembuatannya lebih instan. Pembatik tidak harus melukisnya dengan canting setitik demi setitik seperti pada batik tulis, melainkan dengan semacam cetakan yang sudah bermotif batik. Kain batik pun lebih cepat jadi, dan harganya juga jadi lebih terjangkau. Batik semacam ini disebut batik cap.

Tidak seperti batik tulis yang proses pelukisan malamnya umumnya dikerjakan oleh kaum wanita, batik cap justru lebih sering dilakukan kaum pria. "Soalnya laki-laki itu tidak telaten kalau harus membatik (tulis). Lagipula canting cap itu berat, jadi lebih cocok dikerjakan laki-laki," kata Nur Cahyo, pemilik Batik Cahyo, saat menerima kunjungan wartawan dan PT Kao Indonesia di workshop batik capnya di kawasan Sampang, Pekalongan, Desember lalu.

Selain proses pelukisan motif batik yang menggunakan cetakan, atau canting cap, proses selanjutnya dilakukan dengan cara yang sama seperti saat membuat batik tulis. Misalnya dari proses pewarnaannya (bisa dengan pewarna alami atau pewarna kimia) yang harus berulang-ulang untuk mendapatkan warna yang diinginkan, atau dari proses nglorodnya.

Ketika kami berkunjung ke balai kerja Cahyo tersebut, aktivitas pencapan pada kain tengah berlangsung. Hanya tiga pekerja pria yang tampak sedang mengerjakan proses membatik ini. Ada dua tahap yang dilakukan untuk menghasilkan motif batik pada kain, yaitu membuat motif dasar dengan canting cap, dan menjaplak atau memindahkan motif bunga dari cetakan kertas ke kain. Motif bunga ini nanti hanya muncul di sana-sini.

Sepintas, canting cap itu bentuknya seperti setrika arang. Cahyo memiliki ratusan canting cap beraneka motif di balai kerjanya. Canting cap harus dipesan ke pengrajin dengan memberikan motif yang diinginkan. Sebuah canting cap harganya sekitar Rp 300.000 - Rp 500.000, tergantung motifnya.

Canting yang dibuat dari tembaga ini ukurannya juga berbeda-beda, tergantung besar kecilnya motif, dan apakah juga berisi isen-isen (bidang kosong yang harus diisi dengan guratan-guratan kecil). Canting yang rata-rata berukuran sekitar 15 x 25 cm ini lalu dicelup ke cairan malam, lalu dicapkan di atas kain, setapak demi setapak.

Meskipun kesannya lebih praktis dan cepat (satu hari bisa jadi 10 helai kain batik), membuat batik cap tetap membutuhkan ketelitian yang tinggi. Batik cap milik Cahyo, misalnya, tetap dikenal dengan kehalusannya. Kehalusan ini tampak dari presisi peletakan canting cap di sekujur bidang kain. Tidak ada garis sambungan yang meleset, semuanya pas.

"Tukang cap harus memastikan agar nyambungnya pas. Kalau tukang capnya tidak profesional, lilinnya bisa menempel di cantingnya," tukas Cahyo. Kalau sudah begitu, seperti ada garis-garis yang menebal atau menggumpal di kain. Repotnya, ketidaksempurnaan ini seringkali baru terlihat setelah proses pewarnaan.

Agar tidak terjadi hal semacam ini, tukang cap harus mampu membuat komposisi malam yang tepat. Itu bisa diperoleh dengan memerhatikan tingkat panas dan kekentalan malamnya. Pendek kata, batik cap pun membutuhkan satu feeling dalam pengerjaannya. Hanya dengan komitmen untuk mendapatkan yang terbaik lah, tercipta karya batik cap yang berkualitas.