Jumat, 16 November 2012

Batik Cahyo, Sangat Halus dan Genit

ulukan sebagai Kota Batik untuk Pekalongan memang segera terasa ketika memasuki kota ini. Hampir di setiap jalan ada rumah atau toko yang memajang papan nama pemilik rumah batik. Banyak dari rumah batik tersebut yang hanya berupa bangunan sederhana dengan pintu dan jendela yang sudah usang. Namun siapa yang menyangka, di dalam rumah-rumah tersebut mengalir helai demi helai kain batik yang bernilai budaya yang tinggi.

Di salah satu rumah yang rimbun ditumbuhi ilalang, di Desa Setono, Pekalongan, juga tengah berlangsung kegiatan membatik. Sekitar 50 pembatik terlibat dalam pembuatan batik, dari proses membuat pola, melekatkan malam dengan canting ke pola batik di kain, hingga menghilangkan lapisan malam tersebut. Mereka inilah yang menghasilkan kain-kain batik dengan merek Cahyo.

Rumah Batik Cahyo, merupakan salah satu produsen batik paling populer di kota ini. Pemiliknya, Nur Cahyo, mewarisi bisnis batik ini dari ayahnya. Ia tidak sekadar menjual atau mendistribusikan batik, tetapi juga menguasai seluk-beluk pembuatan batik.

Pria 45 tahun ini sudah akrab dengan kehidupan membatik sejak lulus SMP. Kegiatan pembatik memindahkan pola dari kertas ke kain, ngiseni, ngelir, sudah menjadi pemandangannya sehari-hari. Namun, waktu itu membatik bagi Cahyo hanya sebatas iseng. Boleh dibilang, ia tak pernah memelajari pembuatan batik secara khusus. "Kursus" membatik itu diserapnya hanya dengan mengamati kegiatan ayahnya selama bertahun-tahun.

"Memang, ayah kadang-kadang meminta saya membantunya. Tetapi saya tidak pernah menyadari bahwa itu cara ayah saya mengajarkan batik pada anaknya," tutur Cahyo, saat menemani wartawan yang berkunjung ke rumah batiknya di Pekalongan.

Setelah sang ayah tiada, Cahyo baru berkonsentrasi penuh untuk mengelola bisnis batik pada tahun 1995. Sambil meneruskan bisnis, ia terus mengembangkan kemampuannya membatik, misalnya menciptakan warna yang dihasilkan dari bahan-bahan alami. Meskipun pewarna alami ini sudah tersedia di pasaran dalam bentuk bubuk, tetapi Cahyo lebih banyak menyeduh sendiri cacahan kayu dari pohon secang, mahoni, tingi, tegeran, jalawe, hingga jambal.

Ada berbagai macam jenis batik dari segi pembuatannya, seperti batik cap, batik tulis, atau batik printing. Dalam proses pewarnaannya, ada yang memakai bahan pewarna alami, ada pula yang menggunakan pewarna kimia. Cahyo sendiri memproduksi batik jenis tulis dan cap, dan banyak memodifikasi teknik pembuatannya. Misalnya batik tulis, tetapi proses pewarnaannya menggunakan bahan kimia.

Batik buatannya, seperti umumnya batik Pekalongan, banyak mendapat pengaruh China dan Arab. Motif khasnya flora dan fauna, dengan kombinasi motif geometris yang tersusun dari garis-garis kotak atau titik yang putus-putus, dan warna yang cenderung cerah.

Hasil karya Cahyo antara lain bisa Anda temukan di koleksi Batik Adiningrat dan Batik Margaria di Malioboro, Yogyakarta. Namun Anda bisa saja menemukan hasil karya Cahyo di Batik Semar, Batik Keris, dan Batik Danarhadi, karena ia juga menerima pesanan dari merek tersebut. Kalau Anda sedang mengunjungi pameran kerajinan seperti Inacraft, Batik Cahyo juga mudah ditemukan. Bahkan melalui berbagai pameran ini Cahyo "ditemukan" oleh desainer Edward Hutabarat, yang kemudian bekerjasama untuk memproduksi batik tulis berkualitas tinggi.

"Batiknya mas Cahyo itu boleh dibilang batik terhalus di kota ini. Bukan cuma dari batikannya, tetapi juga dari ritme, gelombang batiknya, yang sangat genit, sangat wanita," tutur Edward, yang berkolaborasi dengan PT Kao Indonesia untuk mengampanyekan "Cintaku Pada Batik Takkan Pernah Pudar".

Kain batik yang disebut sangat halus bisa dilihat dari motif tanahan-nya. Tanahan adalah latar belakang kain yang tak cuma berisi warna, tetapi juga guratan-guratan kecil yang menutupi seluruh bidang kain. Jelas dibutuhkan kesabaran dan ketelitian ekstra dalam mengisi pola tanahan. Belum lagi membuat motif cecekan, atau titik putus-putus pada tepian gambar.

"Kalau dari mas Edo, saya banyak belajar mengenai lay out, atau penataan letak gambar-gambar batik," ungkap Cahyo. Selain itu juga pemilihan warna pada obyek bunga-bungaan.

Batik Cahyo banyak digemari pelanggan dari Jepang. Mereka ini mengetahui produk batiknya dari pameran, dari mulut ke mulut, atau dari informasi pembatik lain. "Kalau sedang pameran, lalu ada tamu yang ingin mencari batik dengan ciri khas tertentu, pembatik biasanya akan memberitahu, 'Oh, itu lho, cari batiknya Cahyo saja!'" katanya.

Berkat batik dan relasinya yang cukup luas, Cahyo juga sering diundang mengikuti pameran di luar negeri. Di Jepang, setidaknya ia sudah mengadakan pameran empat kali. Dari pameran semacam ini Cahyo banyak memperoleh buyer, baik yang untuk dipakai sendiri maupun dijual lagi.

Ia senang jika calon pembeli batiknya ingin tahu proses yang jelimet di balik pembuatan batik tersebut. Pelanggan tetapnya di Jepang, tak ragu berkunjung ke tempat workshop-nya untuk menyaksikan pembuatan batiknya. Mereka ingin membuktikan sendiri bahwa batik tulis tersebut benar-benar dikerjakan melalui ketrampilan tangan pembuatnya. Mereka tak hanya melihat motifnya, tetapi juga meraba dan merasakan teksturnya.

"Mungkin karena orang Jepang lebih menghargai seni, ya. Jadi mereka lebih ingin tahu proses di baliknya," seru Cahyo. "Mereka juga lebih suka dengan proses dan penggunaan bahan yang natural."

Bagi Cahyo, menjelaskan proses pembuatan batik pada konsumen ini juga merupakan salah satu tahap yang penting. Pengguna batik harus tahu lika-liku dan segenap kesulitan yang dihadapi pembatik, agar lebih mampu menghargai buah tangan mereka. Meskipun batik tersebut menggunakan kain dari sutera, batikan, motif, dan lay out-nya menawan, bila pebisnis batik tidak mampu membuat pelanggannya mengerti nilai-nilai di balik pembuatan batik tersebut, segalanya menjadi percuma.