Selasa, 16 April 2013

Batik Dalam Upacara Perkawinan Gaya Yogyakarta

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa besar danpenting dalam sejarah kehidupan seseorang, suatu peristiwa yang tak dilewatkan orang begitu saja sebagaimana mereka menghadapi peristiwa sehari-hari. Peristiwa perkawinan dirayakan dengan serangkaian upacara yang mengandung nilai budaya, sakral dan
suci.

Menurut pandangan hidup orang Jawa tugas orang tua baru dikatakan sempurna jika sudah me-laksanakan atau mengawinkan anak yang disebut mantu. Menjodohkan anak menurut wewarah luhur diharapkan menjadi sarana melangsungkan keturunan yang dapat menyambung sejarah kehidupan kedua dinasti keluarga
(Honggopuro, 2002: 120). 

Dalam tradisi upacara pernikahan di Jawa pada umumnya mengacu pada kebiasaan upacara pernikahan yang diadakan di Kraton, baik Kraton Yogyakarta maupun Kraton Surakarta. Hal ini disebabkan karena Yogyakarta dan Surakarta merupakan ibu kota bekas kerajaan-kerajaan yang pada saat ini tetap
menjadi pusat kebudayaan seni dan sastra Jawa.Bagi rakyat Jawa, kraton tidak hanya dihayati sebagai pusat
politik dan budaya, melainkan juga sebagai pusat keramat kerajaan. Kraton adalah tempat raja bersemayam, dan raja merupakan sumber

kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan membawa ketenteraman, keadilan dan kesuburan. Pandangan kraton sebagai pusat kerajaan, menentukan paham negara Jawa. Menurut pandangan ini, negara yang paling padat adalah di pusat, di dekat raja, di kraton (Ali, 1986: 35-36). Kraton dianggap sebagai dasar sumber
tatanan dan tuntunan upacara yang berkenaan dengan perjalanan hidup atau daur hidup.

Hidup manusia mengalami tingkat-tingkat tertentu. Oleh para ahli ilmu Antropologi tingkat itu disebut stages along the life cycle, yaitu tingkatan sepanjang daur hidup yang meliputi masa bayi, masa kanak-kanak, masa dewasa, masa kawin, masa tua dan akhirnya masa meninggal dunia (Wibowo, 1986-1987: 2-3). 

Masamasa itu merupakan suatu siklus kehidupan manusia sebagai mahluk biologis, itulah sebabnya kalangan ahli kebudayaan menyebutnya dengan istilah daur hidup, lingkaran hidup, siklus hidup atau life cycle. Menurut anggapan orang bahwa perjalanan hidup manusia dari waktu ke waktu selalu melewati masa yang berbahaya, satu masa dengan masa yang lain terdapat batas peralihan, misalnya masa perkawinan, kehamilan, kelahiran, khitanan/tetesan, dan kematian. Untuk mengatasi masa-masa kritis yang dianggap berbahaya dalam alur hidup itu, maka manusia berupaya untuk mengatasi dengan cara mengadakan upacara-upacara tertentu (Suyanto, 2002: 37-38). 

Melalui beberapa fase masa peralihan tersebut, maka masa yang dianggap penting adalah masa perkawinan. Perkawinan memegang peranan penting dalam menentukan hidup selanjutnya, karena pada dasarnya perkawinan merupakanpengatu ran tata kelahiran manusia yang  menyangkut kehidupan seks yang dinilai suci. Itulah sebabnya perkawinan sebagai suatu norma, artinya seorang pria dan wanita tak dapat bersetubuh dengan lain  orang dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1977: 90). Usaha untuk mencapai hidup bahagia lahir dan batin di kelak kemudian hari dilambangkan dengan tata rias dan kelengkapannya, termasuk perhiasan dan busana yang dikenakan. Lambang itu akan mencapai makna yang konkrit dan pengakuan masyarakat sesuai dengan nilainilai lembaga masyarakat pendukungnya.

Di Indonesia terdapat beraneka ragam upacara perkawinan adat yang diwariskan turun temurun dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Masing-masing memiliki keagungan, keindahan dan keunikan sendiri. Salah satu kekayaan budaya bangsa tersebut adalah upacara perkawinan adat Jawa gaya Yogyakarta. Secara garis besar rangkaian upacara dalam perkawinan yang berkait langsung dengan tata rias pengantin adalah upacara siraman, upacara ngerik, upacara midodareni, upacara ijab dan upacara panggih.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat lima macam Corak Tata Rias Pengantin dengan gaya yang khas, disebut dengan Gaya Yogyakarta. Ke lima macam corak tersebut adalah; 
(1) Corak Kasatrian; 
(2) Corak Kasatrian Ageng; 
(3) Corak Yogya Putri;
 (4) Corak Paes Ageng Jangan Menir dan 
(5) Corak Paes Ageng Corak

Basahan, yang memiliki ciri sendiri-sendiri dan dipergunakan untuk kepentingan yang berbeda-beda atas dasar status ekonomi dan sosial keluarga mempelai (Wibowo, 1986-1987: 33-34).Tata rias pengantin dalam bahasa Jawa disebut paes atau pepaes yang berarti membuat indah atau rerenggan pada dahi.

Meliputi memperindah alis mata, membersihkan rambut halus di dahi atau sinom, memperindah sekitar mata dan lain sebagainya. Intinya hanya meliputi wajah saja, namun dalam perkembangan-nya pengertian tata rias pengantin menjadi lebih luas, yaitu merias diri yang dalam bahasa Jawa disebut ngrengga badan, artinya meliputi seluruh badan. Tidak hanya wajah, rambut tetapi termasuk pula kaki dan tangan (1986-1987: 25). Pekerjaan merias pengantin ini dilakukan oleh seorang juru paes yang harus memiliki syarat sebagaimana juru paes tempo dulu meliputi syarat ketrampilan, syarat pengetahuan, syarat martabat dan syarat kebatinan 

 Seorang perias pengantin harus ahli dalam bidangnya, menguasai ketrampilan teknik merias wajah dan rambut sekaligus menguasai tata busana pengantin. Memiliki pengetahuan khususnya tentang cara dan rang-kaian upacara perkawinan adat secara rinci dan kro-nologis, makna simbolis dari rangkaian upacara dan kelengkapannya. 

Memiliki kehidupan keluarga dan ke-hidupan bermasyarakat yang terpuji, berkaitan dengan harapan masyarakat agar perias sekaligus dapat dijadi-kan contoh, teladan dan panutan bagi pengantin yang dirias. Selain itu seorang juru paes hendaknya mentaati tradisi leluhur berkaitan dengan persiapan batin yaitu dengan puasa. 

Tujuannya adalah untuk mengendapkan perasaan, membersihkan diri dan menguatkan batin agar nantinya dapat melaksanakan tugas dengan baik ter-hindar dari segala bencana. Dalam pembahasan selanjutnya hanya akan di-ketengahkan dari segi tata busananya, khususnya pada penggunaan kain batik yang dikenakan oleh sepasang pengantin dalam serangkaian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar