Selasa, 30 April 2013

Eksotika Batik Kudus

Industri batik Kudus pada awalnya diproduksi secara home industri pada tahun 1800 M. Pusat produksi batik di Kawasan Kudus Kulon ( Kudus bagian barat ). Sesuai dengan sosiokultural yang berlaku pada masa itu bahwa gadis-gadis Kudus Kulon dalam menjalani kehidupannya dipingit oleh orang tua mereka. Untuk mengisi waktu, gadis-gadis tersebut diajari membatik. Selain Rama Kembang, Beras Kecer dan Alas kobong, motif kapal kandas merupakan motif yang digemari para pembeli. 

Nama kapal kandas terinspirasi pada bangunan rumah kuno berbentuk kapal ( omah kapal ). Motif tersebut merupakan motif yang diambil dari sejarah kapal dampo awang milik sampokong yang kandas di Gunung Muria. Kapal tersebut membawa rempah-rempah yang berkhasiat sebagai obat-obatan yang sekarang tumbuh subur di Gunung Muria. Cengkeh, daun tembakau, dan alat pelinting rokok sebagai simbol Kudus merupakan kota kretek. motif kapal kandas diilhami dari kandasnya kapal China di kawasan ini, mungkin lebih dari 200 tahun lalu. 

Kapal bangsa China tersebut kandas dan penumpangnya yang selamat kemudian bermukim di lembah Gunung Muria atau Kudus. Batik kudus sama seperti batik di daerah pesisir lainnya, amat dipengaruhi budaya China. Batik Kudus mulai dikenal pada abad 17 dan menjadi bagian identitas masyarakat Indonesia Kudus pada rentang waktu 1880 hingga 1940. Setelah itu, berangsur-angsur tradisi ini memudar dan puncaknya pada kurun tahun 1980-2000, Batik Kudus tinggal menjadi artefak budaya yang nyaris punah di masyarakat. Sejarah mengungkapkan bahwa Batik Kudus dipengaruhi oleh budaya dari pedagang-pedagang Cina kaya yang mendatangkan pembatik-pembatik dari Pekalongan. 

Tak mengherankan rasanya apabila Batik Kudus disebut sebagai karya multi kultur. Dalam kumpulan Batik Kudus dikenal peranakan yang halus dengan isen-isen yang rumit, diantaranya isen gabah sinawur, moto iwak atau mrutu sewu. Batik- batik ini berwarna sogan (kecoklatan) seperti umumnya batik Jawa Tengah dengan corak tombak, kawung, atau parang, tetapi dihiasi dengan buketan, pinggiran lebar (terang bulan), taburan kembang, kupu-kupu, atau burung dengan warna-warna cerah seperti merah dan serasi dengan warna coklat. Ciri dan corak khusus inilah yang membedakan batik Kudus dengan produksi batik daerah lain. Berbagai motif batik khas kudus seperti motif Pakis haji, Parijoto, Kapal Kandas, Kaligrafi dan Beras Tumpah kini mulai didaftarkan untuk memiliki hak cipta ke Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia

Salah seorang dari segelintir warga asli Kudus yang mempertahankan dan mengembangkan pola-pola batik lokal yaitu Yuli Astuti. Yang beralamat di Desa Karang Malang RT 04 RW 02 Nomor 11, Gebog, Kabupaten Kudus. Dalam lembaran-lembaran batik hasil karya Yuli, tergambar juga motif buah kopi, jahe-jahean, palijadi, patijotho (sejenis tanaman obat), ikan, dan motif- motif baru hasil kreasinya seperti menara kudus, salah satu ikon Kota Kudus. 

Motif buah kopi juga menjadi andalan selain kapal kandas karena menggambarkan produk unggulan Kudus yang banyak ditanam di lereng Gunung Muria. Dari hasil kopi itu pula, tutur Yuli, Kudus menjadi kawasan yang diperhitungkan pada masa penjajahan Belanda. Memperkuat pendapat Yuli, dalam buku- buku sejarah Indonesia disebutkan, awal abad ke-19 saat pemerintahan Gubernur Jenderal Willem Daendels, hasil perkebunan kopi dari kawasan Gunung Muria diangkut melewati Jalan Raya Pos atau jalan lintas di pesisir pantai utara Jawa. Kopi menjadi komoditas yang menjanjikan di dunia perdagangan internasional kala itu. 

Sampai era 1970-an, masih banyak perempuan membatik di desa-desa di sekitar Kota Kudus. Batik tulis dengan warna-warna alam dari buah pace, daun mangga muda, atau kunyit. Batik menjadi pakaian sehari-hari dan barang dagangan yang cukup laku di tingkat lokal atau antarkota pesisir di Jawa. Namun, industri lokal ini makin tergerus oleh serbuan batik printing dan batik cap dari Pekalongan. Di sisi lain, warga Kudus lebih tertarik menjadi buruh linting di pabrik rokok. Sejak 1980-an praktis batik kudus tak lagi berkibar, ditinggalkan oleh masyarakat pembuat dan pemakainya. Kini yang tertinggal hanya pembatik sepuh yang berusia di atas 50 tahun. Itu pun jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Yuli juga merintis pelatihan membatik bagi warga desanya Batik tulis karyanya mulai diminati para perancang busana nasional. Batik hasil karya Yuli juga telah terdaftar dengan nama paten Muria Batik Kudus pada Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) dengan nomor registrasi D 002007030389.

Pemasaran hasil membatik Yuli Astuti berjalan lancar dan mendapat respon sangat menggembirakan di kota-kota besar Indonesia antara lain, di kota Semarang, Jakarta, Yogya, Solo, maupun Pekalongan. Dan yang paling menggembirakan adalah Batik Kudus kini tidak lagi menjadi "jago kandang" di rumah sendiri tetapi sudah melanglang buana ke belahan negara lainnya di luar Indonesia sampai ke "Negeri Gajah" alias Thailand. 

Banyak sekali masyarakat di sana mengagumi Batik Kudus dan mereka menganggap karya seni mode ini merupakan maha karya yang sangat mahal serta layak dijadikan inspirasi mode dunia. Bekerjasama dengan Komunitas Asian Woman Yuli Astuti tidak jemu-jemu untuk terus konsisten mempromosikan budaya Batik Kudus ini supaya dunia internasional dapat melihat Indonesia dari sisi lain yang tidak hanya dikenal dengan budaya wisatanya saja namun ada kebanggaan lainnya yang bisa mereka temukan dan gali lebih dalam lagi. Dan mereka bisa menemukan keindahan lain dari Indonesia melalui Batik Kudus. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar